SOLOPOS.COM - ilustrasi (Agoes Rudianto/JIBI/dok)

Solopos.com, SOLO—Kalangan pariwisata di Soloraya mulai resah dengan ketimpangan pertumbuhan kinerja beberapa industri pendukung sektor pariwisata.

Ketidakseimbangan itu ditunjukkan dengan minimnya pertumbuhan angka wisatawan yang hanya 7,6% di tahun 2012 sementara pertumbuhan jumlah kamar hotel berbintang dan nonbintang mencapai 20%. Ketua Badan Promosi Pariwisata Indonesia Solo (BPPIS), Hidayatullah Al Banjari, menyebutkan berdasarkan kriteria WTO, pertumbuhan industri pariwisata bisa dilihat dari jumlah wisatawan yang menginap di hotel bintang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di tahun 2012, kata dia, tamu yang menginap di hotel bintang/nonbintang di Solo mencapai 1,3 juta orang, dan 89% didominasi wisatawan nusantara. Sementara, wisatawan asing hanya 7.000-an orang dan posisinya turun dibanding 2011.

“Secara umum wisatawan hanya tumbuh 7,6%. Dan ini yang menjadi keresahan bagi kami karena hotel tumbuh sampai 20%. Saat ini, jumlah hotel bintang di Solo sudah 28 hotel dan nonbintang 85 hotel dengan total 4.500 kamar,” kata Hidayatullah, di sela-sela agenda Morning Tea Pariwisata Soloraya di Lojigandrung, Sabtu (31/8/2013).

Pertumbuhan ini terjadi begitu cepat dan jauh dari proyeksi dan perhitungan BPPIS yang menyebutkan suplai kamar hotel Solo baru mencapai 5.000 kamar dalam kurun lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Kondisi ini, lanjut Hidayatullah, justru berbanding terbalik dengan perkembangan industri meeting, incentive, convention and exhibition (MICE). MICE mampu tumbuh 16% dan tahun ini ada sekitar 4.060 agenda MICE yang digelar di Solo.

Hidayatullah mengatakan tidak seimbangnya pertumbuhan wisatawan dan hotel di Solo disebabkan karena upaya menarik wisatawan ke Solo masih sangat konvensional. Tahun ini, ada 58 event budaya tetapi belum signifikan menarik wisatawan. “Event dinilai seperti itu-itu saja, bahkan kualitas beberapa event turun.”

Di sisi lain, saat ini muncul banyak komunitas yang membuat kegiatan dan lebih berkelanjutan tanpa mengandalkan anggaran daerah. “Misalnya Blusukan Solo.”
Tidak selesai sampai di situ, keresahan pelaku pariwisata juga muncul ketika okupansi hotel di Solo per Agustus ini turun ke posisi 52% dibanding periode yang sama tahun lalu, 60%.

“Turunnya okupansi hotel memang tidak hanya di Solo. Tapi Jogja saat ini sudah mulai ancang-ancang dan membuat strategi baru agar di 2020 pariwisata tidak stagnan. Lha Solo ini mau ngapain?” imbuh Hidayatullah.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Solo Creative City Network, Irfan Sutikno, menyebutkan saat ini Solo tengah gagap dalam mengelola isi dan potensi yang dimiliki. Hal ini berdampak pada kurang maksimalnya pengelolaan potensi wisata yang dimiliki.

Pihaknya menyoroti Ngarsapura dan Galabo dan berharap pemerintah untuk merevitalisasi ulang, agar dua ikon wisata belanja itu tidak hanya dibuka untuk pengembangan ekonomi mikro, dalam hal ini PKL dan UKM, tetapi juga pengembangan ekonomi makro kaitannya dengan sektor pariwisata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya