SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Welas, 11, bersama Ade Ramadan, 12, mengendarai sepeda motor menuju warung pakan ternak. Tidak lama kemudian dua anak kelas VI SD Bronggang Baru dan SD Banaran tersebut kembali ke hunian sementara (huntara) di Dusun Kuwang, Argomulyo, Cangkringan.

Setelah memarkir sepeda motornya, mereka pulang ke rumah masing-masing yang saling berhadapan. Di antara rumah-rumah itu menggantung sejumlah sangkar burung sederhana. Aneka macam burung seharga belasan ribu menjadi hiasan sekaligus hiburan.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Welas mengeluarkan plastik berisi jangkrik yang baru saja dibelinya. Seekor jangkrik diberikan pada burung trotokan yang dibeli dengan harga Rp20.000. Begitu juga dengan Ade, tiga sangkar burung di halaman rumahnya menjadi hunian burung plecinya berkicau.

Aktivitas memberi makan burung, memandikan dan merawat menjadi kegiatan sehari-hari anak-anak di pengungsian. Anak-anak itu tidak diperbolehkan memelihara burung lain seperti merpati karena merusak atap dan sering masuk rumah. “Ini trotokan belinya dua puluh ribu,” kata Welas saat ditanya Harian Jogja, akhir pekan lalu.

Meski beberapa hari lalu, Hari Anak Nasional (HAN) diperingati, anak-anak di pengungsian Gunung Merapi merasakan tidak ada yang berbeda dengan hari biasa. Mereka tetap saja tinggal di lingkungan padat dengan rumah terbuat dari bambu. Ketika ditanya keinginan pun mereka tidak bisa menjawab. “Main saja sama teman-teman,” kata Ade lantas pergi menuju pendapa di mana banyak anak bermain di tempat itu.

Orangtua Welas, Mimin, 42, membiarkan anaknya bermain. Saat ini anak-anak di huntara banyak yang memelihara burung berkicau. Kegiatan lain yang rutin diikuti anak di huntara biasanya trauma healing yang diselenggarakan relawan setiap Kamis di pendapa. Minggu pagi juga ada kegiatan bermain anak.

Mimin mengatakan, setelah erupsi Merapi banyak perubahan yang terjadi pada anaknya. Setelah erupsi anaknya tidak mau belajar dan sekolah, kalau tidak dipaksa. Anaknya hanya ingin bermain, karena di pengungsian hampir satu semester tidak memiliki buku. “Sekarang sudah dipinjami buku oleh sekolahan sedikit-sedikit sudah mau [sekolah] seperti kaya dulu,” ujarnya.

Hanya rasa malas yang menghinggapi anaknya kata Mimin masih saja terjadi. Orangtua harus memaksa agar mau berangkat sekolah yang jaraknya tiga kilometer dari shelter. Mereka menuju sekolah dengan menaiki sepeda kayuh.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya