SOLOPOS.COM - Bramastia Mahasiswa Doktoral Ilmu Pendidikan UNS Solo Tinggal di Boyolali. (FOTO/Istimewa)

Bramastia
Mahasiswa Doktoral Ilmu Pendidikan UNS Solo
Tinggal di Boyolali. (FOTO/Istimewa)

Menyambut tahun 2013, kabut dan mendung tampaknya semakin tebal dan terus bergelayut di atas kehidupan rakyat Boyolali. Nuansa mencekam akibat intervensi kebijakan kepala daerah telah menjurus pada kekuasaan yang fasis. Hampir di tiap lini kehidupan, sarat dengan “tangan gelap” yang bersemayam di balik kuasa atas kebijakan Bupati Boyolali. Visi mulia “Boyolali Pro Investasi” telah berubah arah dan substansi karena realisasinya sarat dengan “Boyolali Pro Komisi”. Boleh jadi, kiamat Boyolali 2013 menjadi kenyataan dengan berbagai realitas yang ada.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Pertama, agenda relokasi kantor Pemkab Boyolali. Ambisi relokasi benar-benar telah menutup nurani Bupati Boyolali yang akhirnya akan mengorbankan rakyat. Janji relokasi kantor Pemkab Boyolali tanpa mengganggu Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Boyolali, ternyata hanya isapan jempol. Bahkan yang menyakitkan, dana relokasi Rp55 miliar pada tahun 2013, sepenuhnya berasal dari APBD Kabupaten Boyolali.

Ironisnya, konsekuensi hukum atas kebijakan relokasi kantor Pemkab Boyolali, ternyata tidak digubris sama sekali oleh Bupati Boyolali. Imbas kebijakan Bupati Boyolali yang mengumbar syahwat politik demi sebuah mega proyek bernama relokasi kantor Pemkab Boyolali, kelak pasti menuai persoalan pada 2013. Sikap Bupati Boyolali Seno Samodro yang nekat mengalokasikan Rp55 miliar dalam APBD 2013 tentu mendatangkan malapetaka bagi dirinya.

Anggaran sebesar Rp55 miliar ini untuk membangun Gedung DPRD, Kantor Bupati serta pendapa, kantor Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), Setda dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora). Target ambisius 11 kantor satker (satuan kerja) yang harus selesai dibangun demi memindahkan kantor Sekretariat Daerah (Setda) dari Jl Merbabu Boyolali ke lokasi yang baru, yakni kawasan Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo pasti membawa konsekuensi hukum.

Padahal, pada 2012, Bupati Boyolali telah menganggarkan enam kantor satker sebesar Rp25,8 miliar plus dana tugas pembantuan (TP) sebesar Rp4 miliar. Adapun bangunan yang telah selesai dilaksanakan antara lain: kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kekayaan Aset daerah (DPPKAD), Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKPPP), Inspektorat, Badan Penanaman Modal Pelayanan dan Perijinan Terpadu (BPMP2T) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Tragisnya, anggaran relokasi kantor pemkab tersebut berasal dari APBD Kabupaten Boyolali.

 

Wakil Bupati Mandul

Kedua, mandulnya peran Agus Purmanto selaku Wakil Bupati Boyolali selama setengah periode jabatannya. Selama ini, posisi wakil Bupati hanyalah pelaksana teknis dan tidak pernah memiliki kebijakan strategis dalam merumuskan program pemerintahan. Peran wakil Bupati Boyolali terkesan menjadi ban serep Bupati dan atau bahkan sebatas menjadi “bolo dupak” atau tukang suruh Bupati Boyolali. Misalnya, hampir dalam setiap pelantikan mutasi birokrasi selalu dilakukan Wakil Bupati Boyolali, tetapi Bupati Boyolali hampir tidak pernah melantik sendiri.

Mandulnya peran wakil Bupati Boyolali ini, kiranya harus menjadi catatan bagi rakyat Boyolali. Minimnya peran Wakil Bupati, justru menimbulkan ketimpangan terhadap sistem pemerintahan Boyolali saat ini, mengingat tidak maksimalnya kinerja wakil Bupati Boyolali. Ironisnya, tidak maksimalnya peran Wakil Bupati bukan dikarenakan tidak mampu bekerja, namun diakibatkan tidak pernah diberi ruang untuk mengeluarkan kebijakan strategis.

Padahal, Wakil Bupati Boyolali sudah niat memproyeksikan dirinya maju sebagai calon Bupati Boyolali periode berikutnya. Kiprah Wakil Bupati Boyolali hampir tidak pernah kelihatan karena seluruh kebijakan strategis tak pernah diambilnya. Minimnya keberanian Wakil Bupati Boyolali, terlihat dalam sikap diam dan tidak berkutik dalam menentukan kebijakan relokasi kantor Pemkab Boyolali. Artinya, Wakil Bupati Boyolali ternyata tidak punya keberpihakan terhadap kepentingan rakyat Boyolali.

Penulis berharap Wakil Bupati Boyolali berani menentukan sikap ksatria sebagai alumni sekolah pamong praja. Kerusakan birokrasi Boyolali akibat mutasi yang serba bernuansa arogansi, patut dikembalikan kepada ranah yang benar agar tidak menjadi kiamat Boyolali 2013. Wakil Bupati Boyolali harus berani bersikap beda, jika masih memiliki harga diri dan berniat merebut simpati rakyat sebagai calon Bupati Boyolali periode berikutnya.

 

Peran Media

Ketiga, mengembalikan peran media sebagai sosial kontrol di Boyolali. Berpijak dari kondisi saat ini, penulis mencermati bahwa pilar demokrasi yang tersisa di Boyolali hanyalah peranan pers atau media. Keberadaan media tentu diharapkan memberi dampak yang siginifikan terhadap kehidupan berdemokrasi bagi rakyat Boyolali. Sebagai pilar demokrasi ke empat, media tentu sangat diharapkan tetap konsisten membawa amanahnya, mengingat tiga pilar (eksekutif, legislatif dan yudikatif) di Boyolali sudah tidak bisa lagi diharapkan.

Rakyat berharap, peran media sebagai pilar keempat demokrasi selayaknya dapat memberikan tekanan positif terhadap kebijakan Pemkab Boyolali. Publik paham, bahwa media merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan demokrasi di Boyolali. Artinya, rakyat Boyolali berharap agar demokrasi di Boyolali semakin matang dan dapat dikatakan berkembang baik jika media juga berkembang baik, yakni melaksanakan secara utuh tugas dan fungsinya.

Dalam bahasa penulis, media memang berada di luar sistem politik formal, namun media memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial di Boyolali. Rakyat berharap kiamat Boyolali 2013 tidak terjadi, mengingat masih ada kebebasan dan objektivitas media agar kualitas demokrasi di Boyolali semakin meningkat. Bagaimana pun, media yang mampu dan kuat menjaga kebebasannya, justru akan menunjukkan bahwa media mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain, yang berpotensi melakukan abuse of power.

Agar kiamat Boyolali 2013 tidak terjadi, maka rakyat harus sadar diri dan berani mengkritik kebijakan Pemkab Boyolali saat ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang peduli dengan Boyolali?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya