SOLOPOS.COM - ilustrasi (google img)

ilustrasi (google img)

Membatik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Wardi Wiharjo alias Sliptiyah. Selama hampir 56 tahun, perempuan asal Dusun Banyusumurup RT02,Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri ini bergelut dengan dunia batik.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Usia senja tak jasi penghalang bagi Sliptiyah untuk terus berkarya menciptakan kain batik. Hingga kini, perempuan berusia 64 tahun ini masih terus membatik. Ibu dua anak ini mengaku sudah membatik sejak usia delapan tahun. Keahliannya membatik ia peroleh dari orangtuanya dan terus ia kembangkan secara otodidak dengan membatik setiap hari.

Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Kain mori, lilin dan canting sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Berbagai motif telah ia ciptakan. Mulai dari motif batik klasik, hingga motif flora dan fauna yang menjadi favoritnya. Bahkan, tak jarang ia melayani pesanan dari luar negeri.

“Motif batik Prancis yang paling rumit, pengerjaannya juga lama,” ujarnya saat ditemui belum lama ini.

Di rumahnya di Dusun Banyusumurup, ia bersama salah satu anaknya masih memproduksi batik tulis. Menyadari regenerasi pembatik yang lamban, pintu rumahnya selalu terbuka bagi siapapun yang ingin belajar membatik. “Siapa saja yang ingin bisa membatik, saya ajari,” ujar nenek 10 cucu ini.

Inspirasi membuat motif dan corak bisa ia peroleh dari mana saja. Bahkan tak jarang ia peroleh dengan cara menerawang atau berkhayal. Beberapa saat kemudian pola baru yang ditemukan ia torehkan ke kain. Hampir semua motif dan corak bisa ia buat, apapun permintaan pembeli akan ia penuhi. Kain batik pertama yang ia buat yakni galaran pola merak bahkan masih ia pakai hingga sekarang.“Dulu kalau dijual cuma laku Rp7.000, sekarang bisa sampai Rp700.000,” ujarnya sambil tersenyum.

Perjalanannya membatik tak selalu mulus. Bahkan sempat seret sejak gempa yang menimpa Bantul 2006 silam. Meski demikian, tak ada niatan sama sekali untuknya berhenti atau beralih profesi dari pembatik. Perjalanan membatiknya kembali bangkit seusai ia memperoleh pesanan dari salah seorang pengusaha Jogja. Uang yang ia terima sebesar Rp2,5 juta pun akhirnya menjadi modal untuk kembali membangkitkan batik Bantul.

Wanita yang memperoleh penghargaan sebagai pembatik tertua di Bantul dari Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad ini mengaku untuk mengerjakan selembar kain mori menjadi sebuah kain batik cantik, ia memerlukan sekitar setengah kilogram lilin dan menyelesaikannya selama tiga hari. “Kalau batik Prancis hanya tergantung pesanan, prosesnya bisa sampai satu minggu. Yang paling lama itu nitiki [membuat corak titik-titik],” akunya.

Ia bersyukur salah satu dari anaknya mau melanjutkan membatik. Diakuinya, generasi muda saat ini memang tidak banyak yang tertarik untuk membatik. Selain perlu ketelitian, dalam membatik juga diperlukan kesabaran. “Membatik itu juga pakai hati. Hasilnya pasti lebih bagus,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya