Solopos.com, DHAKA – Temuan kasus pertama Covid-19 di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh pertengahan Mei lalu memunculkan kekhawatiran baru. Pemerintah setempat mengkarantina sekitar 15.000 pengungsi Rohingya hingga pengendalian Covid-19 menunjukkan tren positif.
Politikus PKS: Comot WHO, New Normal Indonesia Tak Masuk Akal
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Pejabat Departemen Kesehatan di Bangladesh, Toha Bhuiyan, menyampaikan kamp pengungsian etnis Rohingya dibatasi secara ketat. Meski tak ada kasus Covid-19 yang kritis, pemerintah telah meningkatkan kewaspadaan.
Jalan sempit menuju distrik tiga kamp, di mana mayoritas infeksi terdeteksi, telah ditutup pihak berwenang. Dua kawasan yang juga diisolasi berada di kamp Kutupalong, penampungan bagi 600.000 Rohingya.
“Kami berupaya meningkatkan tes secepat mungkin untuk memastikan kami bisa menelusuri semua orang yang terinfeksi dan kontak mereka,” kata Bhuiyan, sebagaimana dilansir Reuters.
Siapkan Penerapan New Normal, Polresta Solo Terjunkan Personel Awasi Mal dan Pasar
Tujuh pusat isolasi dengan kapasitas 700 pasien Covid-19 telah disiapkan dan diharapkan jumlah pasien yang dirawat sampai akhir Mei di bawah 2.000.
Namun menurut salah satu pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya, Nay San Lwin, tak tersedia cukup ranjang ICU dan ventilator. Hal ini terutama untuk para pengungsi dan masyarakat lokal di wilayah Cox’s Bazar.
Mahbubur Rahman, kepala pejabat kesehatan Cox’s Bazar, mengatakan pihak berwenang berharap pekan ini jumlah tes bisa dua kali lipat setiap hari, yang biasanya 188.
Wonogiri Gelar Rapid Test Massal, 400 Alat Disiapkan
Dia mengatakan pembatasan masuk lebih lanjut telah diberlakukan di kamp, dengan karantina 14 hari diberlakukan bagi siapa pun yang berkunjung dari Dhaka.
Covid-19 di Bangladesh
Pada Senin, Bangladesh mencatat rekor lonjakan kasus dalam sehari yaitu 1.975 infeksi baru, sehingga total menjadi 35.585 kasus dan 501 kematian.
Pada awal April, pihak berwenang memberlakukan penutupan total di distrik Box Cox, rumah bagi 3,4 juta orang termasuk para pengungsi, setelah sejumlah infeksi terjadi di luar kamp.
1.118 Sampel Darah Diuji Lewat Rapid Test Massal Covid-19 di Solo, 17 Reaktif
Pekerja amal dan aktivis telah menyuarakan keprihatinan tentang kurangnya kebersihan dan perlindungan di kamp. “Karena kamp-kamp penuh sesak, jarak sosial hampir tidak mungkin,” kata Lwin kepada Aljazeera.
Dia menambahkan, terdapat rendahnya kesadaran tentang virus di tengah masyarakat. Terutama setelah pemerintah setempat memutuskan akses Internet pada September. Pemutusan ini padahal untuk memerangi penyelundup narkoba dan penjahat lainnya.