SOLOPOS.COM - KH Muhammad Solikhin & Keluarga (FOTO: Lutfiyah/JIBI/SOLOPOS)

KH Muhammad Solikhin & Keluarga (FOTO: Lutfiyah/JIBI/SOLOPOS)

Di saat banyak orang mengejar karier dan pekerjaan mapan di kota, KH Muhammad Sholikihin justru memilih menepi di sebuah desa di lereng Merapi.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Pekerjaannya sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang pun tanpa ragu ia tanggalkan.

Keputusan yang diambil pada 2006 itu salah satunya lantaran ia ingin melanjutkan cita-cita orangtua untuk membina masyarakat desa tepatnya di Dukuh Pedut, Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Boyolali.

“Jika saya tetap jadi dosen sekaligus membina masyarakat di desa nanti kurang optimal. Saya tidak ingin mengkhianati amanah, salah satu harus dikorbankan. Kalau dosen saya tinggalkan, banyak yang menggantikan. Kalau ulama di desa, yang menggantikan tidak ada,” terangnya kepada Espos, Kamis (2/8).

Mubalig kelahiran Boyolali, 31 Agustus 1972 ini dikenal kerap mengambil keputusan berani dan berbeda dari kebanyakan orang lainnya termasuk pilihannya tidak menuntaskan pendidikan pascasarjana di IAIN Walisongo Semarang. Bukan materi yang menjadi alasannya menyudahi kuliah magister yang tinggal pembuatan tesis tapi ia merasa tidak mendapatkan ilmu sesuai ekspektasinya selama ini.
“Pembimbing tesis saya waktu itu dosen yang kerap meminta bantuan saya membuatkan makalah. Hla kalau tetap melanjutkan membuat tesis berarti saya hanya mengejar nilai, padahal niat saya ingin mengejar ilmu, IPK rata-rata saya waktu itu sudah 3,77,” ungkapnya.

Dia mengakui keputusan itu banyak disayangkan kolega dan beberapa dosen di almamaternya. Tapi ia bergeming. Sebenarnya bukan kali itu saja ia merasa tidak mendapatkan ilmu baru. Saat masih kuliah di S1 pun, anak Kiai Muhammad Mulyadi dan Marwiyyah ini sudah dilanda kejenuhan lantaran kurikulum yang diterapkan di kampusnya sama dengan pendidikan di pesantren.

Salah satu yang ia kritik misalnya tentang tafsir Alquran. Di IAIN, lanjutnya, mahasiswa hanya mendapatkan teori-teori tafsir bukan bagaimana cara menafsirkan Alquran. Alhasil, lantaran kekritisannya kala itu, ia termasuk mahasiswa yang kerap berdebat dengan dosennya termasuk apa yang diajarkan dalam perkuliahan. Berdebat dengan siapa pun selama ia memiliki dasar ilmu pengetahuan tak sungkan dilakukannya.

Luasnya cakrawala pengetahuan mantan distributor jamu ini cukup diakui. Sejak masih kuliah S1, ia bahkan kerap diminta membantu membuat skripsi dan tesis. Saat masih di pascasarjana pun, beberapa dosen yang tengah melanjutkan program doktor juga meminta bantuan konsultasi disertasi termasuk dosen dari perguruan tinggi negeri terkenal di Semarang.
Tapi itu tidak berlaku untuk pengetahuan baru yang belum diketahuinya. Misalnya, ketika ia jenuh dengan pendidikan S1, Sholikhin bukan orang yang pasrah mengikuti arus. Tekadnya mengeruk pengetahuan baru mengantarkannya kuliah di Sekolah Teologi Kristen di Jakarta Selatan. Di sana, ia mengkaji ilmu perbandingan Alquran dan Injil. Selain itu pada 2000, ia juga menempuh pendidikan tambahan di Institut Manajemen Zakat (IMZ) Ciputat, Jakarta.

“Saya belajar kepada sejumlah pendeta termasuk pendeta yang hafal Alquran salah satunya Sirait Butarbutar. Saya berpikir alangkah bagusnya kalau ulama juga hafal Injil, agar tahu perbandingannya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya