SOLOPOS.COM - Dubes AS, Scot Marciel (di podium) mengunjungi Ponpes Al Muayyad, Solo, beberapa waktu lalu. Ponpes tersebut didirikan oleh KH Abdul Manan.

Dubes AS, Scot Marciel (di podium) mengunjungi Ponpes Al Muayyad, Solo, beberapa waktu lalu. Ponpes tersebut didirikan oleh KH Abdul Manan.

Ponpes Al-Muayyad yang dirintis pada 1930 melahirkan banyak kader muslim yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari kiai, aristokrat hingga pengusaha. Oleh KH Abdul Mannan sebagai perintis, ponpes yang awalnya berdiri di tanah seluas 3.500 m2 tersebut hanya menampung buruh pabrik batik cap Kurma milik menantunya, KH Ahmad Shofawi.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Berlokasi di Kampung Mangkuyudan, Purwosari, Laweyan, Solo, Mbah Mannan mengajarkan tentang keislaman dan ilmu kecakapan hidup. “Ponpes bercorak tasawuf, mempelajari yang pasti-pasti,” kata KH Dian Nafi’, pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo, Rabu (6/2).

Selain karyawan pabrik, santri juga dari kalangan para pemuda korban aksi polisional Belanda. Para santri diajarkan di antaranya akhlak, akidah, fikih dan keterampilan hidup. “Mempelajari yang pasti-pasti, misal mati adalah kepastian maka mempelajari kematian. Bekerja adalah kepastian, ya belajar tentang kurikulum yang mendukung pekerjaan.”

Tujuh tahun memimpin Al Muayyad, KH Abdul Mannan melepas jabatan sebagai ketua lalu digantikan anak laki-laki tertua, KH Ahmad Umar Abdul Mannan pada 1939. “Saat itu beliau [KH Abdul Mannan] 66 tahun, masih bugar. Tapi kenapa tidak mau memimpin, karena ingin segera mencetak kiai-kiai muda.”

Ternyata hal itu mujarab dengan munculnya banyak generasi berikut yang menjadi kiai-kiai yang berperan besar. Di antara mereka adalah KH Umar yang mengembangkan Al Muayyad, lalu KH Muhammad Nidhom dan KH Ahmad Djisam.

Cita-cita untuk menyebarluaskan agama Islam sudah tertanam sejak KH Mannan masih nyantri kepada Kiai Amad di Kadirejo, Karanganom, Klaten bersama KH Ahmad Shofawi. Sebagaimana dikutip dari nu.or.id, nama kecil KH Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya, Kiai Chasan Hadi, seorang demang di Glesungrejo, Baturetno, Wonogiri.

Setelah diterima nyantri di Kadirejo, namanya berganti menjadi Buchori. Seusai menunaikan ibadah haji pada 1926, nama Buchori berubah menjadi Abdul Mannan.

Tarlim kecil yang masih berusia 8 tahun berangkat ke pondok di Kadirejo, Karanganom, dengan berjalan kaki dari kediaman orangtuanya. Setibanya di pondok, dia diadang oleh Kiai Ahmad di gerbang, langsung ditempatkan di bekas kandang ayam. Selepas tiga hari, dia baru dipanggil Kiai Ahmad untuk diminta kejelasan maksud kedatangannya.

Sang Kiai memberi syarat kepada Tarlim, yaitu membangun sumur, bak mandi, dan kamar mandi sendirian tanpa bantuan orang lain. Tugas mulia tetapi sangat berat itu diselesaikannya dalam waktu 18 bulan. Setelah semua selesai, Tarlim baru diizinkan mengikuti pengajian Kiai Ahmad.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya