SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi. Bagimu negeri jiwa raga kami.”  Syair itulah yang dinyanyikan oleh rekan-rekan guru ketika memulai forum bersama selama sepekan.

Isi nyanyian itu terasa menghantam hati dan perasaan ketika menyanyikannya bersama mereka. Dalam arti sesungguhnya mereka berbakti, mengabdi, menyerahkan jiwa raga, bukan sekedar berjanji.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam arti sesungguhnya pula mereka menghadirkan diri di wilayah yang tampaknya Pemerintah absen, antara ada dan tiada. Yang mengumpulkan dan memfasilitasi mereka justru sebuah perusahaan swasta yang mencoba peduli pada para guru.

Untuk berjumpa dengan mereka saya mesti menempuh penerbangan 100 menit dari Jogya menuju Balikpapan. Selanjutnya saya masih harus terbang lagi selama 70 menit dengan pesawat kecil berpenumpang 12 orang.

Layaknya angkutan kecil,kami pun kerap terguncang ketika menembus awan. Perjalanan diteruskan dengan naik speedboat selama sekitar 60 menit.

Hingga akhirnya saya berhasil mencapai daratan. Perjalanan darat dilakukan dengan berkendara tidak kurang dari 60 menit. Nun di sana saya bersama mereka yang turun dari pedalaman dan sekolah-sekolah terpencil.

Mereka meninggalkan liburan dan keluarganya untuk “memintarkan diri”.Karena jauhnya waktu tempuh dan panjangnya medan perjalanan itu pula yang membuat seolah “waktu berhenti” di sana.

Betapa terungkap lewat penuturan mereka, dokumen kurikulum yang sudah kadaluwarsa, buku-buku yang telah lewat tahunnya atau peluang untuk memperoleh kesempatan penyegaran dan pengembangan profesi yang langka alias jarang ditawarkan.

Sebagian rekan guru bukanlah sarjana lulusan pendidikan keguruan. Meskipun ada yang lulusan perguruan tinggi, sebagian besar yang lain adalah lulusan diploma.

Ada pula yang lulusan sekolah pendidikan guru atau sekolah menengah kejuruan. Mereka bermodal tekat, kemauan dan panggilan hati demi memintarkan anak-anak di sekitarnya.

Kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperoleh materi pembelajaran mutakhir pun mereka upayakan sembari bergelut dengan urusan pribadi dan keluarga.

Waktu lima hari efektif terasa panjang untuk para guru. Banyak diantaranya mesti berbagi dengan sambilan menakik getah karet. Tak jarang mereka dibantu anak-anaknya yang masih kecil.

Ketika harus menginap di pedusunan sekitar tempat pelatihan, sebagian ibu guru mesti mengajak suaminya agar menjaga balita kecil sepanjang waktu ditinggalkan.

Yang pantas saya hadirkan sebagai tolakan refleksi adalah ketiadaan dan keterbatasan fasilitas tidak meruntuhkan hakikat pendidikan yakni relasi antara guru dan murid.

Kehadiran guru dan keberadaan murid cukuplah menjadi modal untuk tetap menghidupkan proses pembelajaran. Tentu saja pemaknaan tersebut ditempatkan dalam situasi yang serba minimalis, bahkan fatalistik.

Bandingkan dengan para guru yang bekerja dengan kelimpahan fasilitas serba ada. Mereka justru menjadikan fasilitas sebagai tujuan utama dan biang keluhan jika tidak terpenuhi.

Para guru di sekolah-sekolah yang bergelimang fasilitas justru menyingkirkan semangat dan kemauan mendidik yang sebenarnya dibutuhkan oleh para muridnya.

Ketika kembali ke jantung Yogya, hutan Kalimantan telah saya tinggalkan. Kini saya kembali melihat ”hutan” persoalan pendidikan yang justru diciptakan oleh para guru sendiri.

Di awal tahun ajaran baru biasanya keluhan demi keluhan silih-berganti, entah mengeluh karena masukan muridnya yang kurang pintar, ataupun karena ketidakpuasan urusan finansial.

Jamak terjadi pola pikir guru adalah semuanya serba tersedia. Sambil lupa bahwa gurulah yang mesti memintarkan siswa, menciptakan suasana pembelajaran dan menjadi pengelola kelas yang utama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya