SOLOPOS.COM - Farid Achmadi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dalam rapat koordinasi nasional kepala daerah dan forum komunikasi pimpinan daerah se-Indonesia di Sentul City, Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023), Presiden Joko Widodo mengkritik kepala daerah yang hingga saat ini lamban dalam menyelesaikan dua hal, yakni mengenai kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) dan persetujuan bangunan gedung (PBG).

Bukan persoalan berganti nama yang penting, tetapi yang dibutuhkan masyarakat, terutama para investor, adalah proses perizinan yang segera rampung. Sungguh ironis, kebijakan yang diberlakukan dua tahun lalu sekarang justru dipertanyakan implementasinya di daerah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa daerah belum bisa melaksanakan harapan Presiden Joko Widodo?

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Menilik kondisi faktual, harus diakui bahwa masyarakat banyak yang mengeluhkan pengurusan PBG. Mereke mengeluhkan waktu penyelesaian yang terlalu lama, persyaratan yang memberatkan, layanan yang dianggap tidak efektif, dan sebagainya.

Akhirnya keluhan itu sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Artinya, masalah itu terjadi di seluruh wilayah Indonesia. PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai standar teknis bangunan.

Perubahan nama izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi PBG ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang belakangan diubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Jika dibandingkan dengan IMB, PBG memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Pertama, persyaratan teknis diubah menjadi standar teknis yang diatur lebih detail. Persyaratan ini guna menjamin keandalan bangunan yang mencakup keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan suatu bangunan gedung.

Kedua, IMB dihapus dan diganti menjadi PBG yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dari pemerintah pusat.

Ketiga, penyelenggaraan bangunan gedung dilaksanakan melalui sistem informasi manajemen bangunan gedung (SIMBG). SIMBG untuk menjamin keseragaman pelayanan dan standardisasi penerapan teknis di seluruh Indonesia.

Keempat, bisnis proses penerbitan PBG lebih jelas dengan batas waktu yang terukur. Pemenuhan standar teknis melalui penyedia jasa atau perencana yang bersertifikat. Kelima, fungsi pengawasan oleh pemerintah hadir melalui proses konsultasi bersama tim profesi ahli (TPA) dan tim penilai teknis (TPT) pada tahapan penerbitan PBG.

Kritik yang disampaikan Presiden Jokowi tentu harus menjadi bahan introspeksi dan evaluasi bagi semua pihak, khususnya pemerintah daerah yang menerbitkan PBG. Perppu Cipta Kerja yang selama ini didengungkan pro investasi dinarasikan dalam tiga hal; penyederhanaan perizinan, kemudahan berusaha, serta kepastian hukum.

Kendala

Harapannya izin PBG melalui SIMBG ini bisa sejalan dengan narasi-narasi itu. Masyarakat lebih mudah mengurus, fleksibel karena bisa diakses di mana saja, serta jaminan kecepatan layanan perizinan. Pada kenyataannya penerapan PBG ini mengalami banyak dinamika di tiap-tiap daerah.

Pertama, berganti-ganti regulasi. Salah satunya terkait penetapan nilai retribusi. Menteri Dalam Negeri pada 21 Oktober 2021 menerbitkan Surat Edaran Nomor 011/5976/SJ yang intinya menegaskan bahwa layanan PBG harus dilakukan melalui SIMBG.

Daerah yang belum memiliki peraturan daerah tentang retribusi PBG tidak diperkenankan memungut biaya alias retribusi nol rupiah. Kondisi ini tentu sangat memberatkan pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengalami dilema dan penerbitan PBG di berbagai daerah sempat stagnan.

Para investor menghadapi ketidakpastian. Sampai akhirnya direspons oleh pemerintah pusat. Pada 25 Februari 2022 terbit surat edaran bersama empat menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal) tentang Percepatan Pelaksanaan Retribusi PBG.

Dalam surat edaran bersama empat menteri tersebut ditegaskan bahwa bagi daerah yang memiliki peraturan daerah tentang retribusi IMB (lama) masih tetap dapat memungut retribusi sampai paling lama dua tahun sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daeah atau hingga 5 Januari 2024.

Sedangkan bagi daerah yang sudah memiliki peraturan daerah tentang retribusi PBG bisa langsung memungut retribusi. Kedua, pemenuhan persyaratan standar teknis yang tidak mudah. Untuk bisa mengajukan PBG, warga harus menyiapkan persyaratan sesuai dengan fungsi bangunan yang diajukan.

Persyaratan tersebut meliputi data umum, data teknis tanah, data teknis struktur, data arsitektur, serta data mekanikal elektrikal dan plumbing. Di negara maju, standar teknis bangunan diterapkan secara efektif dan disiplin. Persyaratan PBG untuk jenis bangunan tertentu, misalnya, dikonsep mengarah ke penerapan standar tersebut.

Ketentuan pokok tahan gempa, standar teknis antisipasi bahaya kebakaran, perhitungan teknis reduksi emisi karbon, maupun kinerja bangunan yang terukur dalam penghematan energi air dan listrik melalui konsep penerapan bangunan gedung hijau adalah bagian dari konsep tersebut.

Pemenuhan standar teknis itu tentu saja harus disiapkan oleh perencana yang memiliki sertifikat keahlian. Tentu tidak mudah menyiapkan persyaratan dokumen teknis tersebut, sedangkan di sisi lain mereka ingin seluruh persyaratan dipermudah dan izin cepat selesai.

Ketiga, beberapa persyaratan di dalam PBG harus dikoordinasikan dengan unit kerja lain. Contohnya, penerbitan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) keluaran sistem one single submission (OSS) atau sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik di beberapa daerah masih terkendala karena belum memiliki regulasi rencana detail tata ruang (RDTR).

Keempat, jangka waktu penerbitan dianggap cukup lama. Banyak warga yang mengeluhkan waktu pelayanan yang lama, di atas standar waktu normatif yang diharapkan, yaitu 25 hari hingga 30 hari.

Hal ini tentu disebabkan banyak faktor, seperti belum terpenuhinya persyaratan standar teknis dari pemohon, keterbatasan sumber daya manusia di daerah, serta kurangnya koordinasi antarinstansi.

Pemerintah daerah, khususnya penyelenggara perizinan bangunan gedung, harus melakukan terobosan dan inovasi sesuai harapan Presiden Joko Widodo. Pemenuhan standar teknis tata bangunan yang sejalan dengan investasi diharapkan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Februari 2023. Penulis adalah Pejabat Fungsional Ahli Muda Teknik Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya