SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ilustrasi (Dok.SOLOPOS), JALUR PENYEPEDA-Pelajar mengendarai sepeda sepulang sekolah di Jl Slamet Riyadi, Solo, Kamis (22/9/2011). Di sebagian ruas jalan, para pengguna sepeda harus berbagi lajur dengan tukang becak yang mangkal dan juga parkir sepeda motor. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Jalan raya di kota ini tak lagi ramah. Kendaraan bermesin saling berpacu berebut kecepatan. Semua merasa saling mendahului tanpa memikirkan nyawa sesama.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jalan raya akhirnya menjelma arena juara. Potret kehidupan manusia penuh ketergesa-gesaan tercermin.

Dinas Perhubungan(Dishub) Kota Solo mencatat jumlah kendaraan di kota ini mencapai sekitar 297.000 unit. Dengan pertumbuhan 7,5% per tahun, problematika lalu lintas, keseimbangan alam, hingga kehidupan sosial budaya pun bertambah panjang.

Padahal, jalan raya tak pernah ditambah. ”Kalau sudah begitu, apa yang terjadi?” tanya Sri Baskoro, Kabid Lalu Lintas Dishub Kota Solo beberapa waktu lalu.

Transportasi pun, kata Baskoro, tak lagi menjadi alat perpindahan manusia. Transportasi tak ubahnya pemicu kemacetan kota, mencemari udara dan menambah deretan panjang angka kecelakaan.

”Inilah saatnya membangun kesadaran bersama bahwa alam ini juga milik anak cucu kita. Seperti di negara-negara maju, mari kita jadikan sepeda sebagai budaya sehari-hari,” ujarnya.

Sayang, membangun kesadaran bersepeda itu bak menyusuri jalan terjal nan panjang. Bukan saja soal kesadaran bersepeda yang kurang, namun kenyamanan bersepeda di kota ini juga masih rawan.

Amati saja, bagaimana jalur-jalur khusus sepeda sepanjang 23 km di kota ini telah dikapling para juru pakir hingga para PKL untuk mencari nafkah.

Di toko-toko, perkantoran, hingga instansi pemerintah sekalipun, sepeda masih dianggap mainan yang seolah tak memerlukan lahan parkir.

Akibatnya, pemilik sepeda pun terus waswas. Ketiadaan rambu-rambu khusus sepeda pun juga bukti bahwa sepeda masih terpinggirkan.

”Bahkan, kalau kami naik kereta api dengan membawa sepeda, juga dilarang. Ini kan sangat memrihatinkan sekali,” sesal Dian Sasmita, pegiat komunitas Bike To Work Solo.

Kejengahan Dian ini sangat beralasan. Sebab, PT Kereta Api (KA) mestinya bisa menjadi ujung tombak dalam mengampanyekan transportasi ramah lingkungan. Pemerintah, misalkan, bisa menambah gerbong khusus sepeda agar penumpang tetap merasa nyaman saat bepergian dengan kereta.

”Sebenarnya kami tak melarang. Namun, harus dilihat dulu sepedanya, mulai beratnya dan ukurannya agar tak memakan ruangan bagi penumpang lainnya,” jelas Pejabat Humas PT KA Daops VI Yogyakarta, Eko Budiyanto.

Pemkot Solo memang terus melakukan kampanye transportasi yang nyaman dan ramah lingkungan. Berbagai strategi mengurai kemacetan juga terus digalakkan. Mulai membangun selter khusus sepeda, hingga menyiapkan transportasi massal.

”Kami berharap tradisi bersepeda benar-benar menjadi gaya hidup sehari-hari warga Solo,” kata Baskoro. Harapan itu digantungkan agar jalan kota kembali ramah untuk manusia kota ini.

(Aries Susanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya