SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sekali lagi hati kita terkoyak. Juga selama setengah bulan lalu kita disibukkan dengan berita utama, bahkan sering tunggal, yang membuat hati kita nyeri. Kita tidak pernah memahami tujuan akhir dari para aktor bom bunuh diri, sama seperti kita tidak pernah paham mengapa itu terjadi di negeri yang ramah ini.

Sama seperti ketidakpahaman anak kelas 2 SD yang menanyakan kenapa itu (konon) dilakukan oleh oknum  yang menurut gurunya justru harus bersikap menyelamatkan dan bukan menghancurkan. Anak sekecil itu sebenarnya bukan bertanya, tapi lebih sebagai protes dan ekspresi rasa lara.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Tentu sebagai orang yang didewasakan keadaan, kita patut  berbeda sikap dengan anak itu. Kita dituntut untuk lebih tenang dalam menghadapi peristiwa terburuk sekali pun. Paling tidak menenangkan diri dan tidak larut dalam  semua opini yang tersebar di media massa.

Ketentuan Allah SWT
Tiba-tiba kita terhenyak oleh berita wafatnya Mbah Surip. Sang Pencipta telah memanggil penyanyi berambut gimbal itu di tengah puncak kejayaannya. Mbah Surip memang diakui sebagai seniman fenomenal Indonesia pada awal abad ini. Semua orang dari Manula sampai anak balita akrab dengan lagunya, “Tak gendong, kemana-mana….”.

Dengan satu lagu yang sederhana dan berkesan lucu langsung melejitkan namanya dalam jajaran  seniman besar negeri kita. Berbeda dengan para seniman legendaris lainnya yang hampir sepanjang hayat malang melintang di blantika musik Indonesia, selalu mengalami pasang surut. Bahkan banyak kasus para seniman legendaris tersebut wafat dalam suasana yang hampir-hampir orang sudah tidak mengenal namanya lagi dan dalam situasi miskin. Allah memberi takdir lain kepada Mbah Surip, dia wafat di tengah puncak ketenaran dan bergelimang harta.

Memang milik Allah-lah segala yang ada di alam raya ini. Dia pula mengetahui segala isi hati, baik yang terlahirkan maupun terbatinkan, dan setip isi hati itu akan diperhitungkan. Allah pula yang mampu mengampuni siapa pun yang dikehendaki-Nya atau menyiksa siapa pun yang dikehendaki-Nya pula dan Dia Maha Berkuasa atas segalanya (Al Baqarah : 184).

Kembali kita tidak paham dengan perjalanan nasib hidup manusia. Mengapa ada oknum yang tega membunuh dirinya untuk menghancurkan orang-orang lain yang tidak pernah mengenal dia. Juga mengapa ada orang yang bekerja keras seumur hidup, namun ternyata hasilnya tidak memadai. Di lain sisi, mengapa ada orang yang sepertinya bekerja dengan ‘seenaknya’, namun memperoleh hasil yang luar biasa.

Para pakar yang berpikiran naturalistik barangkali akan mengatakan, “Ini bukan persoalan nasib, tapi lebih ditentukan oleh kondisi masyarakat kita yang sedang sakit”. Keterhimpitan hidup dan ketidakjelasan masa depan, menuntun masyarakat kepada banyaknya ‘impian’ untuk lepas dari ketidakberdayaan hidup. Selanjutnya menggiring oknum masyarakat tertentu bertindak anarkis, dan masyarakat yang lain memanjakan diri dengan kebutuhan budaya yang serba mudah, ringan, dan tidak banyak berpikir.

Pikiran realistis
Pakar yang melandaskan diri pada pikiran realistis pun akan berkata, “Ada sebagian masyarakat kita merasa prihatin dengan nasib yang menimpa saudaranya di belahan dunia lain. Juga sebagian lain dari masyarakat kita sedang merasa berat menanggung beban hidup, tapi bukan berarti sakit”.

Kalau mau menyimak dengan seksama beragam tindakan anarkis dan tampilan budaya yang serba mudah, ringan, dan tidak banyak berpikir, justru memiliki kekuatan kebersamaan sosial yang tinggi. Ini yang kemudian dijadikan acuan si-oknum  melakukan makar, yang sebenarnya tidak dibenarkan.  Atau dalam kasus mendiang seniman kita, ajakan kebersamaan sosial yang dilantunkannya dibutuhkan masyarakat sekarang ini, maka wajar jika masyarakat menyambut secara antusias hasil budaya yang demikian.

Serasional apa pun pendapat para pakar, tetap masih tidak dapat menjawab pertanyaan mendasar,  mengapa itu terjadi pada dia atau mereka dan bukan kepada saya atau kita, mengapa terjadi pada waktu kemarin dan bukan waktu sekarang, juga mengapa terjadi di tempat sana dan bukan di sini, dan pertanyaan lainnya yang senada.

Tentu kita tidak dapat melupakan hukum sebab akibat, namun pada akhirnya semua  bermuara pada hukum Ilahiah. Kita ingat pada firman, “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” (Al Ahzab : 17).

Semua peristiwa telah terjadi, tidak mungkin dapat diputar ulang agar tidak pernah kita alami atau kita dengar. Walau dengan segenap kepedihan, semua kita hadapi dan saksikan dengan jiwa yang tenang (muthmainah). Sebab hanya manusia yang berjiwa tenang ini-lah yang diseru dan akan berhasil untuk selalu kembali ke jalan Tuhan dengan kesukarelaan.

Sehingga kita akan mencapai derajat sebagai hamba Tuhan dan memiliki surga Tuhan. Dalam posisi ini kita akan memandang segala sesuatu dengan kacamata ‘prasangka baik’ dan terhindar dari ‘prasangka buruk’ walau menemui peristiwa seburuk apa pun.

Dengan demikian, semua peristiwa yang dialami atau tampil dalam berita dan ulasan cukup patut dijadikan sebagai bahan memperkaya khasanah. Juga sebagai bahan perenungan dalam mencermati semua situasi.
Kelihatannya kearifan lokal Islami yang mengatakan “ojo gumunan, ojo kagetan, dan ojo dumeh” juga dapat  kita perkuat dalam jiwa untuk menciptakan keseimbangan hati jika keresahan yang terus menguat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya