SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sekarang kita mendiskusikan mengenai pemilihan umum (Pemilu) yang akan berlangsung sekitar 45 hari lagi bersama Jeirry Sumampow, Kordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR). Organisasi ini sudah sejak 1999 memantau Pemilu dari kemungkinan kecurangan-kecurangan.

Menurut Jeirry Undang-Undang (UU) No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif merupakan  UU terjelek dibandingkan dengan UU Pemilu yang pernah kita pakai sebelumnya. Banyak hal-hal didalamnya yang bertentangan. Untuk mengetahui pandangan mengenai pemilu tersebut, berikut wawancara Faisol Riza dengan Jeirry Sumampow;

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan membatalkan Pasal 214 di Undang-Undang (UU) No.10/2008 tentang Ketentuan Nomor Urut untuk Menentukan Calon Anggota Legislatif (caleg) yang berhak atas kursi di DPR. Apakah Anda setuju dengan keputusan MK yang membatalkan Pasal 214 tersebut?
Setuju atau tidak memang harus diterima, karena MK telah mengabulkan permohonan penggugat dan mengeluarkan keputusan tersebut. Jadi posisi kita bukan lagi untuk menolak tapi menyetujuinya. Menolak sudah tidak bisa lagi karena itu merupakan keputusan final terhadap pembatalan satu ketentuan yang diatur dalam UU No.10/2008 yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi.
UU yang tidak mengakomodasi suara terbanyak tersebut banyak mendapat resistensi karenanya sekarang kita dorong adanya sistem untuk memilih orang, dan sebetulnya dalam sistem ini penggunaan suara terbanyak menjadi sesuatu yang lebih baik dari pada yang kita pakai selama ini.
Kalau kita melihat kepada sistem yang dulu maka ada caleg yang dipilih masyarakat dengan suara yang lebih banyak dari caleg lainnya tapi partai menentukan lain karena sistemnya masih berdasarkan nomor urut. JPPR ikut bersama teman-teman lainnya mendorong agar suara terbanyak yang digunakan oleh DPR untuk menentukan calon terpilih.

Apakah teman-teman tidak khawatir terhadap kemungkinan orang yang sangat populer terpilih, misalnya artis, tapi kapasitasnya diragukan untuk duduk sebagai caleg?
Saya kira ada saja keraguan terhadap hal itu. Hanya saja semuanya tergantung kepada internal partai karena yang mengajukan orang yang akan menjadi anggota parlemen. Di dalam sebuah negara parlemen itu bukan kedudukan yang main-main, jadi semestinya partai politik melakukan proses seleksi untuk calon-calon yang akan diusulkan untuk maju sebagai calon caleg. Kalau sudah melewati seleksi partai yang baik dan partai-partai serius melakukan itu, saya kira kekhawatiran-kekhawatiran itu bisa diminimalisasi. 

Bagaimana terhadap ketentuan kuota 30% jatah kursi untuk caleg perempuan karena banyak yang menyatakan hal ini dilanggar oleh keputusan MK?
Memang yang paling resisten dengan keputusan MK tadi adalah kelompok perempuan dan kelompok lain yang melihat bahwa putusan MK itu berpengaruh terhadap affirmative action yang sudah diatur juga dalam pasal-pasal lain dalam UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif. MK tidak memberikan solusi tentang ini karena memang yang digugat adalah hanya pasal 214, tapi  konsekuensi dari pembatalan pasal itu adalah pasal affirmative action tentang perempuan menjadi tidak bermakna lagi. Itu sebenarnya menjadi problem juga.
Kalau kita mau membayangkan demokrasi yang ideal maka sebetulnya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, jadi mengapa tidak bertarung dalam posisi yang sama itu, dan banyak orang berpendapat inilah demokrasinya. Namun, di banyak negara yang demokrasinya sudah lebih maju, penerapan affirmative action memang sangat lumrah karena pra kondisi yang ada di masyarakat banyak menguntungkan laki-laki dari pada perempuan.

Bagaimana menurut Anda persiapan Pemilu kali ini?
Kalau kita melihat kepada persiapan Pemilu sekarang, dan mau mengkritisinya atau mungkin mempersalahkannya adalah UU No.10/2008 itu sendiri. Menurut penilaian banyak kalangan, UU itu adalah UU yang paling jelek dari UU Pemilu yang pernah kita pakai sebelumnya.
Banyak hal-hal di dalamnya yang bertentangan. Jika membaca UU itu dengan teliti, isi UU tersebut dengan sangat transparan terlihat merupakan kompromi politik yang memang tidak bisa disembunyikan lagi. Pasal 214 sebetulnya merupakan pasal kompromi, termasuk juga pasal-pasal lain yang berkaitan dengan affirmative action.
Sampai sekarang kita juga tidak paham ada apa di balik itu karena dalam proses ini KPU sangat tertutup, sehingga akses informasi ke KPU tidak pernah baik atau mungkin juga sebaliknya sebetulnya banyak sekali informasi yang beredar sehingga kita susah menganalisis.
Menurut saya, ini adalah masalah manajemen, sejak awal memang KPU tidak bisa mengatur kerja dengan baik terutama dalam mempersiapkan tahapan.

Bukankah KPU dulu juga sama?
KPU yang dulu jauh lebih paham mengenai Pemilu dan terhadap substansi-substansi setiap tahapan. Setahu saya dan sejauh yang kita lihat mereka mampu menjalankan itu secara lebih konsisten dan dari segi kualitas juga ada. Ini berbeda dengan KPU sekarang. Kita bingung ketika KPU melakukan pengumumkan daftar pemilih tetap dua kali. Mereka memberi argumentasi hukum yang membuat bangunan hukum tentang Pemilu khususnya substansi setiap tahapan menjadi kacau balau. Mana mungkin Daftar Pemilih Tetap (DPT) diumumkan dua kali, kalau begitu kapan kita dapat daftar pemilih tetap yang tetap.

Dengan secara macam keterbatasan seperti tadi, apakah Anda masih optimis Pemilu akan berlangsung sebagaimana yang kita harapkan atau tidak akan sesuai jadwal?
Akhir-akhir ini kita berhitung terhadap konsekuensi kalau Pemilu mengalami masalah. Dari sisi jadwal, misalnya jadwal pemilihan presiden (Pilpres), sebetulnya tidak nyambung antara UU Legislatif dengan UU Pilpres.
Sewaktu DPR membuat UU Pilpres sebenarnya tidak secara cermat menghitung lagi waktu persiapan dan pelaksanaan di UU Legislatif, sehingga sub bagiannya memang tidak nyambung dan yang paling penting adalah waktu untuk sengketa 30 hari ditambah 7 hari. Setelah itu baru bisa langsung ke tahapan Pilpres, padahal ada beberapa tahapan-tahapan Pilpres sangat tergantung dari hasil pemilihan legislatif. Misalnya, soal persentase untuk dapat  mengusung calon presiden (Capres) yang memang berjalan di tahapan awal.
Kemudian berkaitan dengan ketentuan 2,5 persen parliamentary threshold, siapa partai yang akan ada di DPR karena memenuhi ketentuan tersebut dan siapa yang tidak. Kemudian juga persoalan persentasi perolehan suara dan kursi untuk mengusung presiden.

Kalau Anda yang sehari-hari bergelut dengan Pemilu saja bingung dengan sikap KPU, bagaimana dengan masyarakat yang sekarang ingin terlibat dengan Pemilu?
Sebetulnya kebingungan masyarakat pada yang bersifat teknis, misalnya, masih ada kebingungan tanda centang satu atau dua kali. Yang kita bingung sekarang adalah substansinya karena gawat kalau hal tadi tidak dicari solusinya.
KPU perlu lebih tegas terkait perkembangan-perkembangan yang berlangsung terakhir ini dan harus secara cepat dicarikan keputusannya. Ambil satu sikap, risiko apapun itu urusan kemudian supaya kita lebih pasti menjalani atau menghadapi tahapan-tahapan Pemilu ini. Selain itu, ada banyak aturan yang sebetulnya belum selesai. Apalagi sampai sekarang kita belum mendapat pengaturan tentang dana kampanye.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya