Keesokan harinya, seperti biasa Koplo berangkat menjemput Gendhuk Nicole. Sebentar kemudian, dilihatnya Gendhuk keluar dari pertokoan. Tapi anehnya, ia tidak menghampiri Koplo, malah buru-buru menuju angkutan kota yang berhenti di pinggir jalan. Dipanggilnya Gendhuk berkali-kali, tapi tidak menoleh sedikit pun, sepertinya pura-pura tidak tahu. Saat Koplo mencoba menghampiri, ternyata angkutan yang ditumpangi Gendhuk keburu lari.
Dari belakang tiba-tiba muncul Lady Cempluk, teman kerja Gendhuk. “Lho, Plo, mau jemput Gendhuk ya? Tadi kayaknya dia sudah pulang duluan,” kata Cempluk.
“Iya, aku tahu. Tapi Gendhuk tak panggil-panggil kok diam saja ya, sepertinya marah? Pluk, kamu tahu nggak, kenapa dia begitu?”
“Ooo, mungkin soal kemarin, Plo.”
“Memang kemarin ada apa?” tanya Koplo penasaran.
“Kemarin itu Gendhuk pulang bareng aku. Dia bilang kalau kamu nggak bisa jemput karena ada keperluan penting. Aku sama Gendhuk naik angkutan. Nah, pas lewat di perempatan Manahan, dia lihat kamu sama rombongan suporter lagi mogleng-mogleng sambil teriak-teriak di jalan. Ya jelas saja dia jengkel karena merasa kamu bohongi,” terang Lady Cempluk.
Saat itu juga Koplo merasa darahnya berhenti beredar. Kepalanga kliyeng-kliyeng. Ia hanya bisa kukur-kukur sirah sambil memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Gendhuk Nicole, sebab ia tahu persis watak pacarnya itu, kalau sudah ngambek bisa diam berminggu-minggu tidak mau diajak bicara. Dan kalau sudah begini Koplo harus siap-siap sendiri alias jadi jomblo sementara.
Sunarno, Norowangsan RT 03/RW XIII Pajang, Laweyan, Solo 57146