SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ada sebuah cerita klasik mengenai dua orang yang terdampar di sebuah
pulau karang. Dalam waktu pendek sulit diharapkan datangnya
pertolongan. Salah seorang memiliki beras sekarung dan yang lainnya
memiliki seratus kalung emas. Biasanya sebuah kalung emas jauh lebih
berharga dari sekarung beras. Tetapi sekarang kedua orang ini tidak
menemukan apa yang bisa dimakan selain beras itu. Beras menjadi sangat
berharga karena betul-betul dibutuhkan. Sedangkan kalung sekalipun
terbuat dari emas tidak dirasakan manfaatnya. Jadi, nilai dari barang
berubah. Mungkin saja si pemilik beras menjual sedikit berasnya untuk
mendapatkan semua kalung yang ada. Atau ia menolak untuk menukar beras
dengan emas.
P.A. Payutto dalam bukunya Buddhist Economics memaparkan cerita ini
dengan menunjukkan alternatif lain di luar konsep ekonomi yang kita
sebut sebagai jual beli. Terhimpit oleh kebutuhan yang vital, orang
yang memiliki kalung emas mungkin menjadi nekad dan mencuri sebagian
dari beras itu pada saat si pemiliknya lengah. Atau bisa jadi dia akan
membunuh demi mendapatkan seluruh beras tadi. Tentu lain halnya kalau
kedua orang itu memiliki belas kasih dan kebijaksanaan. Mereka bisa
menjadi teman, tolong menolong dan saling berbagi, mengonsumsi beras
bersama-sama sampai habis. Maka tidak ada jual beli sama sekali. Dan
tidak perlu mengukur segala sesuatu dengan uang.

Akibat Keserakahan
Penjual barang dan jasa berusaha mendapat¬kan ke¬un¬tungan yang
sebesar-besar¬nya. Sedangkan konsumen ber¬usaha mendapatkan barang
sebanyak-banyaknya atau kepuasan yang maksimal dari uang yang mereka
belanjakan. Penjual atau¬pun pembeli memiliki keserakahan sehingga
masing-masing berusaha memberi sedikit dan me¬ne¬rima banyak.
Kelihatannya wajar, siapa saja ingin untung, tidak mau rugi. Seharusnya
tidak ada yang salah pada sikap seperti ini.
Namun, kesalahan terjadi ketika yang diinginkan itu semata-mata materi.
Uang atau kekayaan memang memiliki daya tarik yang luar biasa. Bahkan
tidak sedikit orang memberhalakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan
kekuasaan. Pelaku ekonomi yang materialis menyalahgunakan kesempatan
untuk melipatgandakan keuntungan dengan mengabaikan etika dan moral.
Seperti lintah darat dengan praktik ribanya, atau pebisnis yang
melakukan penyelundupan, pemalsuan dan tidak kriminal lain.
Karena harga akan membubung kalau persediaan di pasar berkurang, maka
seringkali ditemukan penjual menimbun barang kebutuhan pokok. Bagi
mereka bisnis menggembirakan ketika bisa mempermainkan harga. Mengikuti
kenaikan harga bahan bakar minyak memang tak terhindarkan harga segala
macam barang dan biaya transportasi juga naik. Hanya saja, ketika harga
BBM turun tidak bisa diharapkan harga yang lainnya ikut turun. Kalau
keuntungan berkurang, bisnis tidak menggembirakan dan disebut lesu. 
Menurut Keynes kemajuan ekonomi hanya bisa di¬capai jika kita
memanfaatkan nafsu manusiawi yang egoistis. Ekono¬mi modern berhasil
tumbuh dengan digerakkan oleh nafsu serakah dan meng¬gila¬nya rasa iri.
Keserakahan harus menjadi dewa untuk memenuhi ke¬bu¬tuhan ekonomi,
sehingga setiap orang boleh ditipu karena yang buruk itu berguna dan
yang baik tak berguna. Bisa kita bayangkan, sejumlah orang yang serakah
demi kepentingan diri sendiri menginjak-injak kepentingan orang lain.
Mereka menemukan kesenangan tanpa memikirkan nasib pihak yang
dirugikan, menikmati kepuasan di atas penderitaan orang yang menjadi
korban. Pelaku ekonomi semacam ini jelas menjadi miskin secara
spiritual. 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kearifan dan Belas Kasih
Kita  diingatkan oleh Gandhi yang menga¬takan, “Bumi menye¬dia¬kan
cu¬kup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cu¬kup
memuaskan keserakahan.”  E. F. Schu¬ma¬cher yang memperkenalkan ekonomi
Buddhis dalam bukunya ”Small is Beautiful” mem¬persoalkan keserakahan
dan menegaskan pentingnya kearifan. Penghidupan benar menghendaki tidak
ada makhluk lain yang dirugikan. Itulah kearifan yang harus
dikembangkan dalam setiap bentuk pekerjaan atau mata pencaharian. Dan
kearifan selalu berdampingan dengan belas kasih. Berdasarkan kearifan
dan belas kasih Buddha menolak perdagangan senjata dan racun, juga
minuman keras, daging serta makhluk hidup (A. III, 207).    
Kita memang membutuhkan kesejahteraan materiil, karena kesejahteran
materiil dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan spiritual.
Aspek materiil dan spitual saling menunjang dan melengkapi.
Spiritualitas dan pertimbangan etika seharusnya mempengaruhi permintaan
dan membatasi keserakahan. Konsumerisme dalam arti gaya hidup yang
tidak hemat, yang dilatarbelakangi keserakahan, jelas bertentangan
dengan  paham agama yang menghargai kesahajaan bahkan cenderung
asketik.
Dalam konteks ini, dorongan belanja konsumsi yang dicetuskan oleh Forum
Ekonomi Dunia di Davos, Swiss (29/1/2009) untuk meredam krisis keuangan
dunia harus dipahami dengan cerdas. Salah satu penyebab krisis itu
sendiri adalah konsumerisme yang dibesarkan oleh kredit murah. Setelah
krisis terjadi, belanja konsumsi sebagaimana daya beli turun, sehingga
ekonomi global menjadi lesu. Perekonomian diharapkan masih akan
bergerak kalau didukung oleh belanja konsumsi dalam negeri. Tentunya
golongan masyarakat yang berkelebihan yang harus mengambil peran.
Belanja pantas ditingkatkan bukan karena keserakahan, tetapi dilakukan
untuk membantu mereka yang tidak beruntung atau kekurangan. Bagus
sekali kalau simpanannya juga dipakai untuk membuka lapangan kerja.
Produktif, bukan konsumtif.             

Jakarta, Februari 2009

Oleh Krishnanda Wijaya-Mukti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya