SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

28 Mei 2010, seluruh umat Buddha di dunia memperingati tiga peristiwa yang dialami langsung oleh seorang manusia yang telah mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha.

Tiga peristiwa tersebut adalah kelahiran seorang putra seorang Raja Sakya yang diberi nama Sidharta (berarti tercapai segala cita-citanya) dari keluarga Gautama pada 623 SM, pencapaian penerangan sempurna setelah menjadi petapa kurang lebih selama 6 tahun pada usia 35 tahun dan mangkatnya seorang manusia agung yang telah mencapai kesempurnaan pada usia 80 tahun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tiga peristiwa yang dialami langsung oleh Sang Buddha terjadi pada bulan Waisak, pada saat purnama sidhi pada tahun yang berbeda.

Ketika Sidharta sebagai seorang pangeran muda menanyakan proses kehidupan melalui penampakan orangtua, orang sakit, orang mati dan seorang petapa dengan wajah cemerlang, pada saat itulah bibit benih spiritualitas seorang manusia agung tumbuh dengan subur.

Fenomena yang tampak dari kehidupan manusia (lahir, tua, sakit dan mati) menjadi bahan pertanyaan yang amat mendalam. Beliau kemudian merefleksikan proses kehidupan manusia sepanjang kehidupan menjadi seorang pangeran. Tidak ada kekurangan secara material yang Beliau alami, bahkan bergelimpangan harta dan tahta.

Ternyata dibalik dari kehidupan yang dialami manusia adalah proses lahir, tua, sakit dan mati, terdapat suatu kepastian dan tanpa kesangsian bahwa hidup adalah sebagai bentuk penderitaan. Jangan keliru memahami penderitaan, bukan dalam hal pesimis akan tetapi Beliau menunjukkan fakta-fakta kebenaran. Pangeran Sidharta dalam upaya mencapai Ke-Buddhaan perlu meninggalkan segala macam kekayaan duniawinya, tanpa dengan kemelekatan yang menjadi jerat.

Pangeran Sidharta pergi untuk bertapa dan bebas dari kepemilikan. Setelah mencapai Penerangan Agung, Beliau bagaikan seorang dokter, dokter yang maha dahsyat dan manjur.

Pada awal pembabaran dharma, Beliau menunjukkan hakekat tentang Kebenaran Mulia Tentang Adanya Dukkha. Beliau memberikan contoh berkumpul dengan yang tidak kita cintai, berpisah dengan yang kita cintai, tidak memperoleh yang kita kehendaki adalah bentuk penderitaan. Penderitaan dapat dialami melalui fisik maupun melalui batin (rohani). Penderitaan yang Beliau ajarkan terutama adalah penderitaan karena kemelekatan pada keberadaan manusia itu sendiri. Penderitaan karena ia terikat pada kelahiran, kematian, untuk seterusnya terikat pada roda samsara kelahiran yang berulang-ulang.

Beliau menunjukkan Kebenaran Tentang Sebab Musabab Dari Dukkha karena dari penderitaan tidak lain adalah segala macam nafsu keinginan rendah yang masih menyebabkan proses kelahiran yang berulang-ulang. Keinginan rendah menjadi momok yang amat sangat mengganggu jalan tercapainya kebahagiaan sejati. Selama manusia masih memiliki keinginan rendah, selama itu pula manusia masih terjerat dengan penderitaan.

Lenyapnya dukkha yang dimaksud adalah tercapainya kebahagiaan sejati, terhentinya proses kelahiran dan kematian, tercapainya Nirvana (pengertian nirvana bukanlah sorga pada umumnya sebab nirvana adalah di luar dari segala bentuk maupun kondisi). Sorga dalam agama Buddha adalah alam-alam kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan.

Pada akhirnya (tahap keempat), tentang jalan atau cara untuk melenyapkan dukkha adalah menghindari dua hal ekstrim (hidup berfoya-foya dan hidup menyiksa diri) dan melaksanakan satu jalan mulia berunsur delapan. Delapan unsur dimaksud adalah pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar.

Sang Buddha kemudian memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih mana yang harus dilakukan untuk mencapai pembebasan. Pembebasan mutlak merupakan kunci dari misi ajaran Sang Buddha. Pembebasan manusia dari eksistensinya yang menderita dan dari segala bentuk, situasi keadaanya yang menyebabkan manusia menderita. Namun demikian penderitaan itu sendiri juga relatif, tidak mutlak dan dapat ditiadakan.

Kepada siswa-Nya, Sang Buddha memberikan alternatif yaitu  hidup menjadi petapa atau hidup berkeluarga. Beliau sangat paham bahwa kehidupan berkeluarga memang penuh dengan resiko. Segala macam resiko akan muncul bertubi-tubi, apalagi munculnya keinginan yang deras dari dalam diri manusia. Dalam hal ini bukan berarti bahwa hidup menjadi petapa tidak memiliki suatu masalah.

Selama menjadi manusia permasalahan tetap selalu ada, namun demikian permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berkeluarga lebih besar resikonya. Kalaupun manusia menjadi petapa, seharunyalah sesuai dengan petunjuk yang pernah Beliau sampaikan (Vinaya).

Peringatan Waisak sebagai sesuatu yang amat Suci, hari yang penuh dengan kandungan makna nilai-nilai transendental, syarat dengan makna rohani-spiritual. Semua aspek kehidupan manusia tercermin ketika kita mampu menangkap makna Waisak. Kesemarakan budaya spiritual sebagai pilar dalam membentuk jati diri umat Buddha.

Dharma ajaran Sang Buddha tidak bersikap dualistis, melainkan humanistis yang mencakup segala dimensi kehidupan manusia baik rasional maupun spiritual. Hal ini karena sumber kebijaksanaan untuk mencapai ke-Buddhaan terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Kiranya makna Waisak tahun ini akan dapat memberikan pengaruh suasana sejuk bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara kesatuan dalam menyongsong kehidupan umat manusia yang bahagia dan sejahtera. Semoga semua mahluk hidup berbahagia. Sadhu 3X. Selamat Tri Suci Waisak 2554 BE/2010

Oleh Jiyono

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya