SOLOPOS.COM - Barang bukti pil aborsi yang dijual secara online di Sragen. (Istimewa/Satresnarkoba Polres Sragen)

Kesehatan Sragen, DKK mengimbau masyarakat tak membeli obat yang dijual secara online.

Solopos.com, SRAGEN — Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen mengimbau masyarakat agar tak membeli obat-obatan yang dijual secara online baik lewat website maupun media sosial (medsos).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Imbauan itu disampaikan menyusul maraknya peredaran obat-obatan secara online khususnya media sosial. Tak sedikit obat yang dijual itu tergolong obat keras yang tak boleh dijual bebas.

Imbauan itu disampaikan Kasi Kefarmasian DKK Sragen, Wigiyanto, saat ditemui Solopos.com di sela-sela workshop kefarmasian di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Sragen, Rabu (19/7/2017). Dia menjelaskan obat-obatan itu memiliki perlakuan khusus, yakni harus ada uji laboratorium dan memiliki izin edar dari instansi terkait.

Obat-obatan yang dijual secara online itu, kata dia, tidak diketahui kandungannya, tidak memiliki izin edar yang legal, bahkan aturan pakai, dosis, dan masa kedaluwarsanya pun tidak diketahui.

“Atas dasar itulah masyarakat harus hati-hati dan jangan sembarangan beli obat secara online. Lebih baik membeli obat di apotek yang memiliki izin edar yang legal dan kandungan, aturan pakai, dosis, dan masa kedaluwarsanya bisa diketahui. Apa kita tahu obat-obat di pasar online itu dicampuri bahan apa saja? Oleh karena itu berisiko,” ujarnya.

Wigiyanto tidak heran atau kaget bila aparat Polres Sragen berhasil mengungkap peredaran obat aborsi yang diperjualbelikan secara online lewat medsos Facebook. Dia menjelaskan obat seperti cytotec yang menjadi barang bukti polisi itu sebenarnya obat untuk lambung tetapi memiliki efek samping bisa menggugurkan janin. (Baca: Satresnarkoba Polres Sragen Bongkar Peredaran Pil Aborsi Ilegal via Online)

Dia menyampaikan kadang-kadang orang-orang yang masuk dalam bisnis hitam itu hanya memanfaatkan efek samping atas obat-obatan tertentu (OOT). Obat yang sering digunakan untuk aborsi itu, obat-obatan dengan efek fly atau pil koplo, dan sejenisnya itu, ujar dia, masuk golongan OOT.

“OOT itu tidak bisa dijual bebas, pembelian dan pemakaiannya harus dengan resep dokter. DKK bersama Badan Pengawasan Obat dan Makanan [BPOM] mengawasi peredaran obat dengan memeriksa sejumlah toko kecil, toko jamu, apotek, dan rumah sakit secara berkala, yakni tiga bulan sekali. Itu bagian dari upaya agar tidak terjadi penyalahgunaan OOT,” tuturnya.

Dia mengungkapkan belakangan DKK dan BPOM juga mewaspadai adanya peredaran OOT yang diperdagangkan secara online. Dia juga mendapat informasi tentang maraknya peredaran OOT secara online dari Kementerian Kesehatan.

“Kalau tahun-tahun sebelumnya OOT yang diedarkan secara online itu biasanya obat kuat. Kini, obat-obat aborsi pun diperjualbelikan secara online. OOT itu statusnya masih di bawah obat psikotropika,” tambahnya.

Wigiyanto menjelaskan DKK mengantisipasi peredaran OOT secara online itu lewat edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan bidan desa, kader posyandu, sampai pada perkumpulkan PKK di tingkat rukun tetangga. Dengan upaya edukasi atau pemahaman kepada masyarakat itu, dia berharap masyarakat tidak tergiur tawaran obat-obatan secara online.

Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sragen, Suwardi, menyampaikan semua apotek di Sragen tidak berani menjual OOT tanpa resep dokter. Dia menyampaikan peredaran OOT itu masih dalam kode etik pelayanan kefarmasian.

“Transaksi OOT dan obat psikotropika dari produsen/distributor kepada apotek itu sudah terpantau langsung oleh Badan Narkotika Nasional [BNN]. Saya kira apotek tidak mungkin memperjualbelikan OOT itu secara liar,” tambahnya.

Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati kaget mendengar ungkap kasus peredaran obat aborsi secara online. Dia mengapresiasi keberhasilan Polres Sragen.

Yuni, sapaan akrab Bupati, mengaku prihatin dengan maraknya peredaran obat keras lewat medsos. Dia merasa berkewajiban mendorong ketahanan keluarga lewat program PKK.

“Dari perspektif ilmu kedokteran, aborsi secara tegas tidak boleh. Penegakan hukum harus tegas. Pemerintah dan stakeholders harus sosialisasi dan memberi pemahaman kepada masyarakat agar berhati-hati saat membeli obat,” tuturnya.

Sementara itu, Kapolres Sragen AKBP Arif Budiman menyampaikan tersangka pengedar obat aborsi Yenny Eriyanto, 25, dijerat Pasal 196 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.

“Pasal itu menjelaskan setiap orang yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan alat kesehatan atau barang farmasi yang tidak memenuhi standar dikenakan sanksi itu. Tidak memenuhi standar itu ada beberapa parameter di antaranya terkait kandungannya dan izin edarnya,” ujarnya.

Kapolres menjelaskan Yenny menjual obat aborsi itu dalam paket-paket tertentu. Kapolres menyebut paket I dijual dengan harga Rp900.000 untuk usia janin sebulan dan paket II dijual dengan harga Rp1,4 juta untuk usia janin di atas dua bulan.

Yenny saat ditanya Solopos.com menjelang konferensi pers mengaku baru melakukan bisnis haram itu selama sebulan. Dia mengaku mengambil obat-obat itu dari temannya di Grobogan.

“Saya tidak hafal pembeli-pembelinya. Kalau untungnya selama sebulan itu ya bisa sampai Rp3 juta,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya