SOLOPOS.COM - Ulfah Hidayati (Solopos/Istimewa)

Dunia ada dalam genggaman. Itulah gambaran keadaan kita sekarang. Bahkan ketika aplikasi media sosial milik Mark Zuckerberg mengalami down selama beberapa jam pada 5 Oktober lalu. Kita seolah kehilangan dunia.

Bagaimana tidak, teknologi digital sudah menjadi napas dalam keseharian kita. Apalagi era pandemi yang menuntut semuanya serba daring membuat ketergantungan kita pada teknologi digital semakin meningkat. Kerja dan sekolah dari rumah. Pun bagi yang tidak melakukan kedua aktivitas tersebut, maka media sosial seperti Facebook dan Instagram menjadi alternatif untuk mencari informasi, hiburan, atau hanya untuk menghabiskan waktu senggang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam ruang digital seperti media sosial, interaksi yang intim antara komunikan dan komunikator sangat mungkin terjadi. Namun terkadang interaksi ini menjadi kebablasan dan melukai ranah privasi seseorang.

Ketika ada interaksi yang menyinggung privasi, sebagian orang mungkin menanggapinya sebagai hal yang wajar, memakluminya, dan menganggapnya bukan sebagai masalah. Namun bagi sebagian yang lain, hal tersebut tidak dapat dimaklumi, dan justru membuatnya merasa terganggu, tersinggung, bahkan marah. Media sosial menjangkau banyak orang dengan beragam karakteristiknya sehingga siapapun perlu bijak dalam bermedia.

Tanggal 10 Oktober yang bertepatan dengan Hari Kesehatan Jiwa Internasional menjadi titik refleksi bagi kita selama ini. Misalnya, apakah kita sudah bijak dalam bermedia sosial sehingga setiap postingan status kita tidak melukai jiwa orang lain? Atau misal kita tidak terganggu mentalnya ketika melihat status sosial media orang lain?

Faktanya, beberapa orang merasa insecure ketika melihat unggahan status media sosial sahabat atau koleganya sendiri. Padahal tak selamanya yang ditampilkan dalam ruang virtual adalah yang sesungguhnya terjadi dalam ruang realita.

Fenomena ini seperti yang disampaikan oleh Underwood, J. D. M., Kerlin, L., & Farrington-Flint, L. (2011), bahwa realitas tersebut dibangun dari model tanpa referensi, sehingga ilusi, fantasi maupun citra layar dari komputer maupun smartphone yang terhubung dengan Internet saat berkomunikasi menjadi tampak nyata dan menjadi sebuah dunia baru bagi pengguna jejaring. Situasi ini mampu menghubungkan antara masyarakat untuk saling mengeksplorasi dan membagikan berbagai aktivitas kesehariannya yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari. Bukan hanya membangun peta pengalaman di dunia nyata, namun ada sesuatu yang ekstra di dunia maya.

Privasi Media Sosial

Untuk menunjukkan keakuannya, seseorang bahkan tak segan membagikan privasinya dalam ruang digital. Ini sejalan dengan teori hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow, bahwa manusia memang memiliki kebutuhan akan penghargaan diri (esteem needs). Privasi yang dimaksud di sini bukan hanya hal-hal yang bersifat administratif dan dokumentatif seperti  foto KTP, ijazah sekolah, atau foto dokumen yang mendukung data pribadi.

Privasi telah mengalami perluasan maknanya pada kebiasaan atau hal-hal private yang selayaknya tidak menjadi konsumsi publik. Hasrat manusia untuk membangun komunikasi melalui media digital dengan cara yang personal dan privat selalu ada (Trepte & Reinecke, 2011).

Dengan adanya media sosial, para pengguna mendapatkan kepuasaan dari proses pengungkapan diri yang mereka lakukan terhadap publik yang mereka pilih sebagai kontak yang terhubung dalam jejaring sosial mereka. Pada waktu yang bersamaan, seiring dengan pengungkapan diri yang mereka lakukan dalam media sosial, maka semakin besar pula risiko atas pelanggaran privasi.

Dengan kata lain, persoalan privasi adalah persoalan proteksi dan kontrol seseorang atas diri mereka. Agar ruang digital kita sehat, maka semestinya kita lebih bijak ketika membagikan privasi. Boleh-boleh saja mengunggah privasi kehidupan untuk pengungkapan diri. Namun perlu dilihat siapa saja yang akan mengonsumsi unggahan kita.

Apakah bijak ketika masa pandemi seperti ini (dan banyak teman di lingkaran media sosial kita yang mengalami PHK) justru kita memposting private tip ke luar negeri atau membeli barang mewah? Semua itu hanya untuk pemenuhan esteem needs kita. Tentu itu bukan sebuah tindakan yang bijak, bahkan kurang berempati.

Pagar Resiliensi Online

Resiliensi online menurut Przybylski, dkk (2014) merupakan sebuah konsep tentang
bagaimana individu bertahan dalam menghadapi situasi yang sulit, berbahaya, dan berisiko dalam dunia online. Di sini, individu dapat beradaptasi secara akurat terhadap berbagai kondisi lingkungan yang sarat akan pengaruh.

Dengan kemampuan ini,  individu akan lebih berdaya dalam menyaring dan merespons berbagai hal yang ditemui ketika berinteraksi dengan teknologi digital. Dalam bermedia sosial, resiliensi online akan dibutuhkan untuk menjaga kesehatan mental kita.

Dengan adanya resiliensi, kita tidak mudah insecure maupun terpancing emosi dengan postingan teman dalam circle media sosial kita. Kita juga dapat melihat mana yang merupakan realitas maya atau memang realitas nyata.

Sudah saatnya kita terus mengasah kemampuan resiliensi online ketika gempuran informasi mengusik ruang digital kita. Semua ini agar kita mampu bermedia secara sehat karena pada dasarnya media sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jiwa kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya