SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kebanyakan narapidana menderita berdesakan dalam sel di Rutan (rumah tahanan), sehingga dipandang membutuhkan upaya untuk lebih memanusiakannya. Namun penghuni penjara yang berduit bisa menikmati fasilitas eksklusif yang sangat mewah. Kenapa mesti kaget? Mungkin saja, bagi mereka Tuhan memang Maha Pengampun. Keberhasilan seorang koruptor pun jangan-jangan dianggap sudah merupakan kehendak Tuhan.

Orang yang beragama menerima dan melaksanakan ajaran moral karena alasan keimanan. Kebanyakan agama menempatkan moralitas sebagai urusan antara manusia dengan Tuhan yang mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Dalam agama Buddha, dikenal hukum karma dan sebab akibat. Pertanyaan kenapa kita tidak boleh korupsi, kenapa kita tidak boleh berdusta, kenapa kita tidak boleh mencuri, sering kali dijawab: karena dosa, melanggar perintah Tuhan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun agaknya penganutan agama tidak dengan sendirinya memperlihatkan kesadaran moral yang rasional. Hasil studi Kohlberg pada umumnya memperlihatkan bahwa perbedaan dalam hal keanggotaan suatu agama dan kehadiran dalam ibadat tidak berhubungan dengan proses perkembangan moral.

Dostoyevski mengatakan lewat tokoh novelnya: ”Seandainya Tuhan tidak ada, semuanya diperbolehkan.” Jean-Paul Sartre menyangkalnya. Tidak benar bahwa bagi orang yang tidak beragama semuanya diperbolehkan. Kalaupun memang tidak bertanggungjawab kepada Tuhan, manusia tetap bertanggungjawab kepada dirinya sendiri. Moralitas menjadi urusan antar-manusia.

Perlu diakui moralitas bukan merupakan monopoli orang beragama. Tidak sedikit orang menganut suatu etika humanis dan sekuler, tanpa hubungan apa pun dengan agama. Mereka justru meragukan mutu etis agama, karena sepanjang sejarah berulang kali atas nama agama terjadi berbagai penindasan, kekerasan, peperangan, pembunuhan, dan kejahatan lain.

Tidak cukup orang menghargai nilai dan mematuhi suatu norma hanya karena disuruh, dilarang, diancam atau ditakut-takuti oleh pihak di luar dirinya. Kita harus memahami kenapa suatu nilai dianut, apa yang menjadi alasan dan apa tujuan dari suatu peraturan. Lewat pengertian yang benar, suatu nilai pantas dibela atau diperjuangkan, dan demi nilai itu kita bersedia mengendalikan diri atau berkorban.

Seharusnya kita tidak melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan diperbuat oleh orang lain terhadap kita. Karena kita sendiri tidak ingin dibohongi, kita tidak akan berdusta. Karena kita sendiri tidak ingin kehilangan, kita tidak akan mencuri, tidak akan korupsi.

Tahu malu
Kepatuhan pada moralitas berhubungan dengan adanya tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan salah (ottappa). Keduanya merupakan pelindung dunia (It. 36). Tahu malu terutama tumbuh dari hati nurani dalam diri seseorang, sedang takut akan akibat perbuatan salah datang dari pengalaman menghadapi dunia luar. Tahu malu dipengaruhi oleh harga diri yang secara subjektif menyangkut keturunan, perkembangan usia, norma dan pendidikan. Takut akan akibat perbuatan salah dipengaruhi oleh kesan yang mendalam dari perlakuan masyarakat, teguran, hukuman dan penderitaan yang dialami atau dibayangkan oleh seseorang.

Pengaruh semacam ini menunjukkan bahwa budaya tahu malu dan takut melakukan kejahatan dapat dikembangkan oleh masyarakat. Setiap manusia dapat takut sendiri merasa salah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukuman, dan takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang. Adanya fitrah semacam itu memungkinkan kontrol sosial terjadi.

Dasar moral dari kontrol sosial berasal dari dua sumber, yaitu hati nurani seseorang dan kecaman dari orang lain. Ketika lepas dari pengawasan dan pandangan orang di sekelilingnya manusia sering menjadi tidak taat pada apa yang seharusnya. Karena itu perlu pendidikan disertai gerakan moral yang mendesakkan opini publik agar kontrol sosial menjadi efektif.

Pendapat yang naif menganggap jika setiap orang dalam masyarakat masing-masing taat moral, tentu seluruh masyarakat dengan sendirinya akan menjadi baik. Dalam praktiknya, tanpa disertai kekuatan struktural, usaha perorangan mudah terkalahkan oleh kekuatan melawan yang ada di tengah masyarakat.
     
Oleh Krishnanda Wijaya-Mukti
Ketua Pusdiklat Agama Buddha Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya