SOLOPOS.COM - Petugas pemadam kebakaran mencoba menjinakkan api yang melalap pusat perbelanjaan Singosaren Plaza, Solo, akibat kerusuhan Mei 1998. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Petugas pemadam kebakaran mencoba menjinakkan api yang melalap pusat perbelanjaan Singosaren Plaza, Solo, akibat kerusuhan Mei 1998. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Petugas pemadam kebakaran mencoba menjinakkan api yang melalap pusat perbelanjaan Singosaren Plaza, Solo, akibat kerusuhan Mei 1998. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Trauma akibt tagedi kerusuhan bulan Mei 1998 masih melekat di benak para korban atau mereka yang ikut mengalami dampaknya. Hingga 15 tahun kemudian banyak kerabat korban atau merka yang tekena dampaknya yang merasa pengungkapan kasus tersebut tak kunjung tuntas.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ungkapan rasa trauma itu pun kembali merebak saat berlangsungynya kegiatan Napak Reformasi dan Sarasehan Tragedi Mei 1998 di rumah dinas Walikota Solo, Loji Gandrung, Minggu (12/5/2013). Saat memberikan sambutan dalam acara itu, Wakil Walikota (Wawali) Solo, Achmad Purnomo, mengaku menjadi salah satu korban tragedi Mei 1998 di Kota Bengawan. Saat itu, salah satu SPBU yang dimilikinya dirusak massa.

“Usaha saya berupa SPBU saat itu di Jl Mangunsarkoro, rusak parah. Pompa rusak, kaca kantor dipecahi. Saya termasuk korban kerusuhan tersebut,” ungkapnya. Dia tak bisa memperkirakan nominal kerugian yang dialaminya akibat SPBU tersebut dirusak massa. Pihaknya hanya mengingatkan kepada korban tragedi Mei tak terkungkung kesedihan mengingat peristiwa itu. “Sekarang sudah saya jual. Jangan terkungkung pada kesedihan. Melangkah untuk menuju yang lebih baik itu tetap dilakukan bagaimana caranya,” urainya.

Saat memberikan sambutan, Purnomo tampak berkaca-kaca. Dia menuturkan refleksi atas tragedi Mei 1998 perlu dilakukan agar kejadian serupa tak terulang. “Memang tragedi itu menjadi peristiwa yang direfleksikan kepada kita dan itu tidak boleh terjadi. Karena peristiwa itu benar-benar campur aduk menyakitkan,” katanya.

Disadarinya, kejadian itu sulit dilupakan khususnya para keluarga korban kerusuhan Mei. “Khusus kepada korban, saya menyampaikan anda semua semoga mendapat ganti yang setimpal. Mudah-mudahan anda segera sembuh dari trauma itu,” urainya.

Sementara itu, Budiarti, ibu salah satu korban kerusuhan di Solo bernama Gilang, mengutarakan selama 15 tahun pascatragedi Mei belum ada tindak lanjut dari pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut. Lantaran hal tersebut, wanita yang akrab disapa Fatah tersebut kembali menuntut pemerintah untuk serius menuntaskan kasus Mei.

“Kami keluarga korban setiap mendatangi instansi yang berhubungan dengan HAM, kami disambut dengan baik. Rupanya sambutan mereka meninabobokkan para korban. Pasalnya, hingga kini belum ada kejelasan,” ungkapnya.

Dikisahkannya, meski aktivitas anaknya hanya sebagai pengamen, namun Gilang memiliki keinginan kuat untuk mengejar dunia pendidikan. Gilang, lanjut Fatah, sering bergaul dengan teman-temannya yang memiliki status sebagai mahasiswa. Lantaran hal itu, Gilang selalu menjadi sorotan serta tak jarang mendapat intimidasi. “Anak saya bukan seorang pemuda yang mengamen hanya untuk mabuk-mabukan,” katanya.

Fatah juga mengutarakan julukan Pahlawan Reformasi yang disematkan kepada almarhum Gilang pun bukan tanpa persoalan. “Saya kadang merasa sakit dan sedih. Banyak orang yang menertawakan anak saya mendapat julukan pahwalan reformasi. Banyak yang mencibir kok pengamen disebut pahlawan, berjuang untuk makan sendiri saja susah,” katanya.

Meski demikian, Fatah merasa bersyukur lantaran cita-cita Gilang bisa diwujudkan oleh para adiknya. “Adik-adik Gilang semua menjadi sarjana, mereka lulus FKIP Matematika, FKIP Fisika serta HI,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya