SOLOPOS.COM - Sejumlah bocah perempuan melewati jembatan darurat dari bambu dengan waswas karena jembatan yang terletak di perbatasan Dukuh Sejeruk, Musuk dan Dukuh Kembang, Jetis, Sambirejo, Sragen itu baru setengah jadi dibuat warga secara swadaya, Senin (21/3/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Keruskan Infrastruktur Sragen mennghambat sejumlah anak untuk bersekolah.

Solopos.com, SRAGEN – Jarum jam menunjuk pukul 12.00 WIB. Pintu kelas III-VI di SDN III Jetis, Sambirejo, Sragen, mulai terbuka. Para siswa berseragam putih-merah mulai keluar ruang. Dengan menenteng tas gendong, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sekolah dasar itu terletak di Dukuh Kembang RT 001, Desa Jetis.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ada 73 anak yang belajar di SDN itu. Sebanyak 15 orang di antaranya berasal dari Dukuh Sejeruk, Desa Musuk. Sisanya berasal dari Dukuh Kembang, Desa Jetis. Para gurunya berasal dari Desa Musuk, Blimbing, Sambirejo, dan ada pula yang berasal dari Plumbungan, Karangmalang. Hanya satu orang yang berasal dari Dukuh Kembang.

 Beberapa siswa SDN III Jetis menyeberangi Sungai Kembang dengan menenteng sepatu saat pulang sekolah, Senin (21/3/2016). Sungai itu menjadi batas wilayah Dukuh Kembang, Jetis, dan Dukuh Sejeruk, Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen. (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)


Beberapa siswa SDN III Jetis menyeberangi Sungai Kembang dengan menenteng sepatu saat pulang sekolah, Senin (21/3/2016). Sungai itu menjadi batas wilayah Dukuh Kembang, Jetis, dan Dukuh Sejeruk, Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen. (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Belasan siswa asal Dukuh Sejeruk berjalan kaki menelusuri jalan kampung. Rumah mereka berjarak 1,5 km. Mereka berjalan melewati jalan setapak di pinggir Sungai Kembang. Kemudian menuruni tebing terjal untuk mencapai dasar sungai. Sejak April 2015, mereka tak bisa melewati Jembatan Kembang yang menghubungkan Dukuh Kembang, Jetis dan Dukuh Sejeruk, Musuk karena jembatan putus dihantam banjir.

“Sepatunya dilepas dulu biar tidak basah. Kalau basah, besok tak bisa sekolah!” seru Budi Santosa, guru kelas IV, yang sering mengantar bocah-bocah SD menyeberangi sungai. Budi tak tega membiarkan anak didiknya berjalan sendiri melewati sungai. Budi pun baru tenang bila belasan bocah itu bisa berada di seberang sungai (Dukuh Sejeruk).

Satu per satu, bocah laki-laki dan perempuan itu melewati jalan setapak berbatu yang biasa dilewati mereka tanpa alas kaki. Sepatu mereka tenteng. Ada siswa yang memasukkan sepatunya ke dalam tas ransel. Mereka melompat dari batu satu ke batu lainnya. Ada pula yang bermain air dengan menggunakan kaki. Mereka sudah terbiasa dengan kondisi itu.

“Ya, sejak setahun lalu kami sering melewati jalan setapak dan menyeberangi sungai ini. Kalau sungai banjir, kami tak berani menyeberang. Seringnya jadi alasan untuk tidak masuk sekolah,” kata Fadlan Hariyanto, 11, siswa kelas V SDN III Jetis itu saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (21/3/2016) siang.

Diterjang Banjir

 Belasan siswa mengular saat menuruni tebing terjal di pinggir Sungai Kembang, perbatasan Dukuh Sejeruk, Musuk, dan Dukuh Kembang, Jetis, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Senin (21/3/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)


Belasan siswa mengular saat menuruni tebing terjal di pinggir Sungai Kembang, perbatasan Dukuh Sejeruk, Musuk, dan Dukuh Kembang, Jetis, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Senin (21/3/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Sebenarnya ada jembatan darurat yang terbuat dari sesek di sebelah selatan Jembatan Kembang yang putus itu. Jembatan itu rusak dan tidak bisa lagi dilewati motor. Jembatan itu jadi alternatif bagi Fadlan dan temannya untuk berangkat dan pulang sekolah.

“Kalau lewat jembatan itu lebih jauh. Kalau menyeberangi sungai lebih dekat karena menjadi jalan pintas,” kata Danny, teman sekelas Fadlan yang berasal dari lingkungan RT 001, Dukuh Sejeruk.

Danny sedikit tersenyum dengan adanya jembatan baru yang terletak 100 meter di sebelah utara Jembatang Kembang. Jembatan darurat dari bambu itu baru setengah jadi dibuat. Belum banyak anak yang berani lewat jembatan itu. “Kalau jembatan darurat itu jadi, kami memilih lewat jembatan itu. Lebih aman. Mudah-mudahan tidak diterjang banjir lagi,” ujar Irma, teman Danny dan Fadlan.

Jembatan darurat itu dibangun secara swadaya oleh warga Dukuh Sejeruk dan Kembang. Kendati menjadi akses umum untuk komunikasi warga dua dukuh, lokasi jembatan itu pun harus sewa. Warga Dukuh Kembang RT 001, Suparno, 48, saat mengobrol dengan solopos.com menyampaikan jembatan darurat di sebelah selatan itu dulu juga sewa lahan senilai Rp200.000/tahun. Setelah setahun berjalan, kata dia, pemilik lahan minta harga sewa lahan dinaikan menjadi Rp1 juta/tahun.

“Belum sempat direspons warga, jembatan darurat itu sudah rusak diterjang banjir. Kami tidak lagi menggunakan lokasi di selatan Jembatan Kembang. Kami memilih di sebelah utara. Ternyata di tempat baru itu juga dikenai sewa. Nilainya Rp700.000/tahun. Ya, lebih murah sedikit,” katanya.

Akses jembatan itu diprioritaskan bagi anak-anak Dukuh Sejeruk yang mau menuntut ilmu di SDN III Jetis. Sebenarnya, ada SDN I Musuk yang aksesnya lebih mudah tetapi jaraknya lebih jauh. Penjaga SDN III Jetis, Paryanto, berharap jembatan darurat itu bisa memberi akses bagi para siswa. Kendati sungai banjir, Paryanto berdoa jembatan sesek itu tidak rusak lagi.

“Kalau banjir mudah-mudahan hanya di bawah jembatan saja. Mudah-mudahan segera ada bantuan dari pemerintah,” harapnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya