SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sikap hormat-mengormati dan bekerja sama dengan pemeluk agama yang berbeda sejak dahulu merupakan sikap hidup umat Buddha. Hal ini terbukti dengan adanya Prasasti Batu Kalinga No XXII dari Raja Asoka (abad ketiga sebelum Masehi), yang antara lain berbunyi : “… janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang disamping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama kita sendiri, disamping merugikan agama orang lain. Oleh karena barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir : “Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri.” Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu kerukunan yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mau mendengarkan dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”

Dalam keseharian umat Buddha berusaha untuk melatih diri dalam menghindari perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain, yaitu dengan mengamalkan Pancasila Buddhis, yaitu, menghindari pembunuhan terhadap mahluk hidup, menghindari pencurian, menghindari perzinahan, menghindari berbohong atau berdusta, dan menghindari makan dan minum yang menyebabkan mabuk atau ketagihan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dengan demikian umat Buddha hendaknya menyadari bahwa diri sendiri ini sebagai pribadi yang sama dengan manusia lainnya. Oleh karena itu kita akan memperlakukan sesama manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, tanpa membedakan, sehingga kita dapat saling mencintai, tenggang rasa, teposeliro, serta bersikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Orang tidak akan saling mengganggu karena orang lain dianggap seperti dirinya sendiri, Shanti Deva mengajarkan, “Tempatkan dirimu di dalam diri makluk lain.” Tokoh Nalanda di abad ke tujuh ini hanya memiliki satu keinginan saja, kebaikan bagi semua makhluk. Dalam diri manusia akan berkembang sifat Metta (cinta kasih), Karuna (belas kasihan), Mudita (rasa simpati), dan Upekkha (keseimbangan batin). Dengan demikian, tenggang rasa akan berkembang, toleransi akan berkembang, budaya malu berbuat jahat akan tumbuh, rasa takut akan akibat berbuat jahat juga akan tumbuh.

Selain sebagai makluk individu, manusia juga sebagai makluk sosial. Tidak dapat dipungkiri kita pasti bergaul dengan orang lain yang lain. Agar dalam bergaul dapat tercipta keharmonisan, ada empat syarat untuk sukses bergaul: Sacca (jujur). Dalam pergaulan tidak akan harmonis tanpa ada kejujuran. Sering kita mendengar bahwa modal orang dagang yang pertama adalah kejujuran, dengan kejujuran kita mendapatkan kepercayaan; Nekhama (bisa mengendalikan diri). Buddha mengatakan bahwa orang yang suka meditasi cinta kasih maka emosinya tidak mudah naik; Khanti (kesabaran dalam menghadapi setiap persolan); Caga (kemurahan hati terhadap mereka yang pantas diberi).

Agama tidak hanya sekedar teori saja tetapi perlu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna sesungguhnya orang yang dikatakan beragama bila dapat merubah cara berpikir dan bertingkah laku ke arah yang lebih baik. Bila seseorang sebelum belajar agama jadi pemarah, namun setelah beragama menjadi sabar, bila sebelum belajar beragama sering berbicara tidak baik namun setelah beragama tidak lagi berbicara yang tidak baik, bila sebelum belajar beragama suka mabuk-mabukan setelah beragama tidak lagi, dll. Perubahan dalam berpikir, berbicara, dan tingkah laku inilah merupakan indikator beragama.

Sehubungan dengan kerukunan, sering kita sibuk mencari akar persoalan kerukunan yang berasal dari luar. Ada kisah seorang raja yang menghendaki seluruh ruangan dalam istananya berwarna merah. Kemudian Sang Raja memerintahkan agar seluruh ruangan yang ada di istananya dicat dengan warna merah. Menterinya usul bila Sang Raja berkenan memakai kaca mata berwarna merah, maka seluruh ruangan sudah berwarna merah tanpa Sang Raja harus banyak mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mengubah istananya menjadi berwarna merah. Pesan moral pada cerita tersebut, bahwa mengubah yang di luar itu sungguh sulit tetapi mengubah yang dari dalam itu lebih mudah. Menurut pandangan Buddha Dhamma, dalam upaya menciptakan kerukunan harus kita mulai dari lingkup yang paling kecil. Sebelum kita menghendaki perdamaian bersama, diri kita harus damai dulu. Berikutnya kita ciptakan kerukuan dalam keluarga, tetangga terdekat, ruang lingkup kerja, kelompok atau golongan kita, kelompok lintas golongan, baru pada kelompok yang lebih besar lagi yaitu dalam berbangsa dan bernegara.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata.
Semoga semua makluk hidup berbahagia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya