SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Foto: Dokumentasi)

Ilustrasi (Foto: Dokumentasi)

JAKARTA–Industri kertas mengeluhkan kesulitan memperoleh bahan baku kertas bekas (recovered paper) akibat pengetatan regulasi impor kertas bekas melalui proses verifikasi yang rumit dan mahal.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No 39/2009 tentang Ketentuan Impor Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mensyaratkan seluruh impor kertas bekas harus melalui proses Verifikasi Penelusuran Teknik Impor (VPTI) yang melibatkan kerja sama operasional Sucofindo-Surveyor Indonesia (KSO-SCSI).

Masalah bermula saat pemerintah menerapkan totally inspection, sebagai reaksi kasus impor scrap baja yang baru saja muncul. Pengetatan proses verifikasi impor yang rumit tersebut menimbulkan biaya yang semakin tinggi, karena harga letter of shipment (LS) meningkat dari US$60 menjadi US$385-US$1.400.

Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda menuturkan mekanisme VPTI baru yang diterbitkan 17 Juli 2012 tersebut mengakibatkan impor kertas bekas menjadi terhambat sehingga mengganggu produksi, karena persediaan bahan baku pabrik semakin menipis.

Jika proses produksi terhambat berkepanjangan, maka itu dikhawatirkan berdampak pada tutupnya industri pengguna kertas bekas yang melibatkan 23.000 karyawan.

Keterbatasan pasokan kertas bekas akan mengakibatkan penaikan harga komoditas tersebut. Jika biaya VPTI sudah berada di kisaran 2% dari nilai barang, dikhawatirkan efek domino kasus ini bisa menyeret penaikan harga bahan baku hingga lebih dari 25%.

“Mungkinkah penaikan ini akan dibebankan ke industri kemasan dan koran atau majalah?” ujarnya dalam jumpa pers di sekretariat APKI Rabu  (26/9/2012).

Dia menuturkan keterbatasan kertas kemasan dan kertas koran di pasar lokal akan dibanjiri oleh produk-produk impor, sehingga neraca perdagangan yang semakin negatif.

Bahkan, negara berpotensi kehilangan devisa dari hilangnya ekspor produk kertas kemasan dan kertas koran sekitar US$350 juta. Menurutnya, kertas bekas bukan merupakan hasil produksi, melainkan barang yang dikumpulkan.

Berdasarkan data APKI, kebutuhan kertas bekas dalam negeri mencapai 6 juta ton per tahun. Adapun sekitar 4,5 juta ton digunakan untuk industri kemasan dan 1,5 juta ton untuk industri koran. “Sekitar 70% disuplai dari kertas bekas yang diimpor,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya