SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Satu genre musik bisa saja kalah, tersisih, tersia-sia, merana karena ditinggalkan penggemar. Sekarat pun boleh, tapi tak bisa mati. Setidaknya karena satu alasan: tak punya kuburan!

Syahdan, suatu hari ada anak muda yang bersibuk-sibuk di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menggelar alat-musiknya. Maksud hati hendak menyuguhkan di hadapan penonton musik keroncong versi dia sendiri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bukan dengan menggotong bas betot segede kerbau, biola, selo, cak dan cuk, tapi dengan MacBook dan midi controller yang diset di panggung di bawah jilatan cahaya temaram.

Ammir Gita Pradana, 27, sang pemuda eksentrik itu, tampil gagah di tengah perangkat tersebut. Ia mengatur peranti lunak di laptopnya, memainkan jemarinya di midi controller.

Kadang-kadang kepalanya bergoyang seirama bunyi dentaman musik elektro yang segar membahana, menguarkan beat keroncong gubahannya sendiri. Hari berikutnya, muncul anak muda juga, Robert Basuki, namanya.

Ia tampil dengan format duo gitar dan piano. Gaya musik jazz terasa kental. Petikan gitarnya terasa banget cengkok keroncongnya saat membawakan lagu Di Wajahmu Terlihat Rembulan karya Mochtar Embut, disusul Damai tapi Gersang gubahan Adjie Bandi.

Apa yang berkecamuk di benak para “dewa” di singgasana keroncong? Bukankah ulah anak-anak muda itu sudah dianggap kurang ajar? Mereka memperlakukan keroncong seenak jidatnya.

Buaya keroncong Kusbini pernah memarahi anak-anak muda pada 1960-an yang memainkan Stambul Dua dengan irama rangkap. Alasannya, dengan memainkan Stambul Dua berirama rangkap berarti telah merusak “rasa” keroncongnya.

Yang semula tenang, teduh, nyaman, menjadi berirama gembira. Itu salah besar, menurut Kusbini. Itulah problem klasik bin klise yang dihadapi musik keroncong sepanjang masa hingga hari ini (dan mungkin juga berlanjut di masa mendatang).

Di satu pihak, para pinisepuh menginginkan keroncong asli terus dipertahankan sepanjang zaman. Generasi muda menginginkan pembaruan. Itu kiranya berlaku pada  bidang seni apa pun (simak: Lotman1972). Bahwa sampai kapan pun ketegangan antara tradisi dan pembaruan tak pernah bisa dihindarkan.

Pertarungan antara yang konvensional dan inovasional tak bisa dibentengi. (Memangnya siapa yang merasa paling berhak atas seni dan budaya?) Jangan dikira musik klasik yang begitu agung dan berwibawa tak pernah diusik.

Aneka aturan dalam menikmati musik klasik begitu mengikat, antara lain, penonton harus disiplin, tidak boleh mengobrol, tak boleh tepuk tangan, tak boleh tengak-tengok, apalagi kentut keras. Meskipun lagunya cukup dikenal, tetap tak boleh ikut berdendang.

Oleh anak muda yang “sableng”, namanya Andre Rieu, pemain biola sekaligus konduktor Johann Strauss Orchestra, musik klasik nan agung itu dibikin cair abis. Pada setiap penampilannya dia justru mengajak para penonton berjingkrak, ikut turun berdansa saat dia memainkan lagu berirama waltz.

Ia mengajak penonton menyanyi bersama. Itulah yang pernah terjadi di pergelaran konser di stadion sepak bola Jerman yang berkapasitas 18.000 orang. Jauh sebelum Rieu, ”pemberontakan” yang sama dilakukan oleh Charles Ives, Edgar Varese, Henry Cowell, Harry Partch, dan seterusnya.

Mereka semua dicap pembangkang oleh dewa-dewa penjaga musik mapan di Eropa maupun Amerika. Di Indonesia saya punya teman. Sundari Soekotjo namanya. Dia penyanyi keroncong kesohor.

Orang-orang sekarang jika menyebut penyanyi keroncong Indonesia, nama itu tak ketinggalan. Selain Waldjinah yang sudah melegenda. Tentu saja. Sepanjang saya mengikuti pemberitaan dan wawancara dia dengan awak media bertahun-tahun lamanya, selalu saja dia bersikukuh dengan keroncong asli.

Lihat saja album-album miliknya. Dia selalu menghindar jika diminta menyanyi dengan sentuhan kontemporer. Akhirnya luluh juga. “Sekarang saya mulai membuka diri pada keroncong yang sifatnya anak muda,” kata dia (Media Indonesia, 23 Oktober 2014).

Penyanyi kelahiran Jakarta, 14 April 1965. itu mulai berpikir cara mewariskan seni musik keroncong kepada generasi muda. “Mengajak generasi muda itu tidak boleh memaksa mereka untuk seperti kita dengan selera keroncong yang kuno dan identik dengan orang-orang sepuh,” ujar dia. Nah!

Tak Terbendung

Istilah keroncong hibrida belum lama muncul. Boleh dibilang setelah abad digital. Setelah para insan musik mengenal perkembangan teknologi elektronik yang dahsyat. Dalam literatur-literatur keroncong lama tak ada sebutan keroncong hibrida.

Itu tak lain adalah keroncong hasil persilangan atau persemaian dengan musik-musik lain: pop, jazz, country, dangdut, dan lain-lain. Kornhouser (1978) membagi repertoar musik keroncong menjadi lima.

Keroncong asli, stambul, langgam keroncong, langgam Jawa, dan keroncong beat. Yampolsky (1990) hanya membagi menjadi empat. Keroncong asli, stambul, langgam, dan langgam Jawa. Sedangkan Hamunah (1987) membaginya menjadi empat pula. Keroncong asli, stambul, langgam, dan lagu ekstra.

Menurut hemat saya, pengelompokan yang paling luwes adalah yang diberikan oleh Agoes Sri Widjajadi. Keroncong asli, stambul (I dan II), langgam, dan gaya keroncong atau “dikeroncongkan” (istilah yang ditolak Koko Thole, dia lebih setuju dengan sebutan “diiringi musik keroncong”).

Keroncong hibrida lebih merujuk pada genre musik apa pun yang digarap dengan gaya keroncong. Itulah realitas yang digemari publik sekarang. Suka atau tidak. Gemes atau ngenes. Terbukti di media sosial keroncong hibrida lebih disukai daripada keroncong asli, terutama di kalangan anak muda.

Dalam tayangan di Youtube musik keroncong hibrida subscriber-nya lebih banyak. Keroncong hibrida, menurut hemat saya, memiliki daya endogen. Yakni, kemungkinan yang lebih besar untuk membangun varian-varian baru berkenaan dengan sistem interval, nada-nada, struktur melodi, serta variabel-variabel yang konotatif dengan pelbagai aspek eksternal seperti sosial, budaya, politik, terutama ekonomi.



David Hume dalam karya klasik Of the Standard of Taste (2013) menyebut keindahan dalam seni bersifat subjektif dan privat. Tapi. kemudian disusuli dengan pernyataan bahwa keindahan tetap bisa dirasakan oleh orang lain secara universal. Pierre Bourdiueu mengatakan selera tak bisa dibetot dari medan sosialnya.

Dalam buku Distinction: A Social of the Judgement of Taste (1984), pemikir asal Prancis itu meyakini bahwa selera tak lain sebagai suatu yang dikonstruksikan secara sosial sebagai sistem pembeda. Apakah semakin merebak dan gegap gempitanya keroncong hibrida kemudian mematikan keroncong asli?

Nggih mboten, ya tidaklah! Musik, jenis apa pun, adalah bahasa yang bisa diterjemahkan ke dalam lingkungan yang berbeda sekalipun (Grimonia, 2014). Ingat nasihat Mahatma Gandhi: aku ingin angin berbagai budaya bertiup bebas dalam rumahku, tapi aku menolak untuk tersapu jauh olehnya.

Begitulah, keroncong, apa pun jenisnya, mau yang asli, yang hibrida, atau yang dianggap “kurang ajar” sekalipun, akan tetap lestari seiring dinamika dan zamannya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 November 2022. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya