SOLOPOS.COM - Ilustrasi Kirab Malam 1 Sura (JIBI/Solopos/Dok)

Kirab malam 1 Sura di Keraton Solo bukan tradisi kuno Keraton Solo.

Solopos.com, SOLO — Kirab pusaka malam 1 Sura di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bukanlah tradisi kuno. Karenanya, perbedaan penetapan malam 1 Sura atau tahun baru penanggalan Jawa hendaknya tidak menjadi sumber perpecahan di internal Keraton.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Perbedaan itu biasanya terjadi karena pendekatan penghitungan penanggalan yang berbeda. Hal itu diungkapkan sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Tundjung Wahadi Sutirto saat berbincang dengan Solopos.com, Selasa (19/9/2017). (Baca: Pusaka Keraton Solo Dikeluarkan Lebih Awal saat Kirab Malam 1 Sura)

Ia mengatakan dalam penanggalan Jawa dikenal dua pendekatan yaitu asapon dan aboge. “Dua pendekatan itu ada selisih penghitungan. Biasanya satu hari. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat biasanya menggunakan penanggalan aboge,” ujar dia.

Ia mengatakan adanya perbedaan hitungan menjadi wajar. Namun, kedua pendekatan itu memiliki pendukung masing-masing dan selama ini tak pernah menimbulkan kontradiksi.

“Pelaksanaan agenda di Keraton selalu harmonis. Misalnya wilujengan malam 1 Sura, biasanya satu hari selisih dengan asapon. Tapi biasanya tak ada yang menolak karena itu berada dalam entitas Keraton dan dilakukan abdi dalem,” kata dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan apa pun yang terjadi, pelaksanaan upacara tradisi 1 Sura tahun ini tetap harus sesuai dhawuh atau perintah Raja Paku Buwana (PB) XIII Hangabehi. Kalaupun sebelumnya adik-adik PB XIII memiliki perhitungan malam 1 Sura jatuh pada Rabu (20/9/2017), hal itu bisa dianggap sebagai kearifan lokal.

“Kalau Keraton secara resmi kan akan melakukan ritual malam 1 Sura pada Kamis [21/9/2017] malam. Kalau Pemkot Solo mengikuti Sinuhun, pasti ada pertimbangannya. Esensinya adalah ada peringatan malam 1 Sura,” kata dia.

Meski demikian, ia ingin menggarisbawahi pelaksanaan Kirab Pusaka malam 1 Sura bukanlah tradisi yang ada sejak terbentuknya Kerajaan Kasunanan Surakarta. Tradisi itu baru muncul pada 1970-an atas perintah penguasa rezim Orde Baru, Soeharto.

“Soeharto meminta Keraton Solo mengadakan kirab supaya masyarakat tetap dalam kesatuan dan persatuan. Itu bukan tradisi kuno di Keraton,” jelasnya.

Dari sisi kesejarahan, PB II-PB X tidak ada yang mengadakan kirab seperti yang saat ini bisa dilihat masyarakat umum. Kalaupun ada, pelaksanaannya hanya memutari tembok keraton di daerah Baluwarti.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya