SOLOPOS.COM - Sejumlah perempuan membawakan tari Bedhaya Ketawang dalam Tingalan Jumenengan PB XIII di Sasono Sewoko, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Senin (27/6). Tari tersebut merupakan salah satu tarian Jawa klasik yang mengisahkan legenda kehidupan manusia mulai kelahiran, perjalanan hidup, hingga alam setelah kehidupan yang dibawakan oleh sembilan penari. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

BEDHAYA KETAWANG -- Sejumlah perempuan membawakan tari Bedhaya Ketawang di Sasana Sewaka, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, beberapa waktu lalu. Tari tersebut merupakan salah satu tarian Jawa klasik yang dibawakan sembilan penari perempuan itu mengisahkan legenda kehidupan manusia mulai kelahiran, perjalanan hidup, hingga alam setelah kehidupan. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

SOLO – Pemerintah dinilai masih belum memperhatikan nila-nilai filosofis atas sejumlah tradisi di dalam Keraton Kasunanan Surakarta. Pemerintah dinilai masih sebatas mengedepankan nuansa pariwisata ketimbang nilai filosofis yang selama ini menjadi substansi dari kekayaan budaya bangsa ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta, KRMH Satrio Hadinagoro menindaklanjuti rencana Keraton mengangkat kembali tradisi keraton untuk disuguhkan kepada masyaakat luas. “Tanggungjawab mengembalikan tradisi itu bukan hanya berada di pundak Keraton. Namun, juga pemerintah serta masyarakat luas untuk ikut memilikinya,” jelasnya kepada Espos.

Satrio menegaskan, tradisi keraton yang menjadi aset bangsa selama ini hanya teronggok begitu saja jika tak dikenalkan kepada masyarakat luas. Padahal, di dalam tradisi tersebut tersimpan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi pegangan hidup manusia. “Nah, pertunjukkan yang akan kami gelar itu baru menyentuh permukaan atau kulitnya. Substansialnya belum banyak ditangkap atau digali lebih dalam,” paparnya.

Ia menilai, berbagai even dan pergelaran hanya menjadi instrumen pendukung untuk menggali nilai filosofisnya. Dan tugas ini, katanya, tak bisa semata diserahkan kepada keraton. “Pemerintah harus ikut bersama-sama menggalinya dan menyampaikan kepada masyarakat,” paparnya.

Selama ini, diakui Satrio, banyak wisatawan mancanegara yang belajar menari, membatik, mengenal aneka masakan Keraton, atau menembang Jawa. Namun, mereka mengaku belum puas lantaran belum menemukan nilai filosofis di dalam khasanah tradisi yang terhampar luas di dalam keraton itu. “Banyak sekali wisatawan yang belajar tradisi keraton. Namun, mereka mengaku ingin tahu apa filosofis di dalamnya. Lantas, bagaimana menerapkannya dalam laku keseharian. Nah, inilah yang rupanya dicari para mancanegara. Ini kan nilai jual tinggi,” terangnya.

Satrio berharap menyosngsong tahun pariwisata 2013 nanti, konsep pariwisata di Solo tak semata menjual tradisi yang kosong nilai filosofis. Jika sebuah pariwisata nantinya dibangun dengan landasan kuat akan nilai-nilai hidup, maka ia tetap lestari dan tak lepas dari akar budaya kejawaanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya