SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo, Wartawan SOLOPOS

Mulyanto Utomo, Wartawan SOLOPOS

Satu bulan lalu, tepatnya 15 Juni 2012, Paku Buwono XIII bersanding dengan Mahapatihnya, KGPH Panembahan Agung Tedjowulan pada Jumenengan ke-8 Sinuhun Hangabehi naik tahta.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Peristiwa berdampingannya kakak–beradik pewaris tahta Keraton Surakarta itu merupakan momentum penting dalam perjalanan sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat, setidaknya setelah delapan tahun dinasti keraton Mataram tersebut terpecah, berseteru akibat munculnya raja kembar.

Rekonsiliasi yang diupayakan berbagai pihak itu akhirnya bisa terlaksana dengan baik, happy ending. Bahkan dua hari kemudian dirayakan pula dengan kirab, mengarak Dwi Tunggal pemimpin Keraton Surakarta itu keliling Kota Solo.

Sebulan sudah berlalu, Mas Wartonegoro, tetangga saya rupanya tergelitik dengan pertanyaan apa tindak lanjut rekonsiliasi dua raja itu. “Denmas Suloyo tahu tidak, sekarang sudah sampai sejauh mana perkembangan di Keraton pascarekonsiliasi dulu itu,” tanya dia kepada sahabat setia diskusi di News Café kampung saya.

“Wah nggak tahu Mas perkembangannya sekarang sudah sampai mana. Yang jelas, sebagai salah satu orang yang masih kecipratan darah biru dari sana, saya kok belum yakin sekarang semuanya sudah lancar jaya,” timpal Raden Mas Suloyo, salah seorang trah keraton yang kini kehidupannya sudah berbaur dengan rakyat jelata termasuk dengan kami-kami ini.

“Lha sumber informasi panjenengan rak mestinya lebih akurat ta Denmas? Masak sama sekali tidak tahu apa-apa,” selidik Mas Wartonegoro penasaran.

“Begini… saya mau bicara, tapi tidak usah sampeyan tulis di koran ya. Soalnya ini juga hanya slenthang-slenthing dari kerabat saya yang ada di dalam tembok sana. Rekonsiliasi itu sampai kini sesungguhnya masih berhenti pada tataran terwujudnya Dwi Tunggal itu,” jelas Denmas Suloyo.

“Ah masak to Denmas? Katanya dulu begitu Dwi Tunggal terwujud maka segera dilaksanakan reformasi besar-besaran di Keraton…?” pancing Mas Wartonegoro.
“Lha itu kan katanya… kenyataannya ya masih belum cetha. Masih saja terjadi intrik-intrikan… udreg-udregan. Malah pihak-pihak luar, maksud saya para sentana juga, yang mendesak-mendesak agar rekonsiliasi itu segera dituntaskan. Tapi di sisi lain, ada pihak yang tetap belum rela pascarekonsiliasi terjadi perombakan besar-besaran,” papar Denmas Suloyo meyakinkan.

Lha njuk piye Denmas?” desak Mas Wartonegoro.

“Lha hyo embuh… Mestinya pemerintah, ya Pak Wali… ya Pak Gubernur sampai pejabat-pejabat negara yang dulu ikut tanda tangan itu terus mengawal sampai tujuan rekonsiliasi yang dulu hangar-bingar sampai kepada tujuan. Jangan terbiasa menyelesaikan tugas tetapi tidak tuntas, hanya setengah-setengah,” kata Denmas Suloyo.

“Wah panjenengan ki nyindir Pak Jokowi…” timpal Mas Wartonegoro.

“Eits… tidak. Saya hanya bicara secara umum, ya bagi semua pejabat. Maksud saya, jangan sampai peran serta para-para itu menjadikan momentum rekonsiliasi sekadar sebagai ‘kendaraan’ biar lebih moncer begitu lho Mas,” kata Denmas Wartonegoro.

“Halah, tidak usah memakai kendaraan rekonsiliasi keraton toh para pejabat itu sudah sangat popular. Contohnya Pak Jokowi itu kan ya memang sudah terkenal, nggak usah ‘naik kendaraan’ macam-macam… buktinya beliau juara di Pilgub DKI,” papar Mas Wartonegoro.

“Iya… percaya, percaya saya. Tapi kan ya tidak ada salahnya ta mengingatkan. Soalnya kan sering kali muncul asumsi-asumsi, pandangan-pandangan orang seperti yang saya katakan tadi. Berbuat sesuatu hanya sebagai kendaraan, melakukan ini itu hanya untuk pencitraan dan lain-lain,” jawab Denmas Suloyo.

Bagi saya, betul juga apa yang disampaikan kawan saya Denmas Suloyo itu. Bicaranya yang sering kali terlihat waton sulaya, sejatinya kerap pula mengandung pemikiran kritis jauh ke depan. Seperti pernah diungkapkan salah satu peneliti dan pengkaji keraton-keraton di Nusantara, Purwadi, untuk menemukan jejak lahirnya sebuah konsep rekonsilasi pada sejarah kerajaan masa silam, butuh kejelian dalam menfasirkan setiap detail sejarah.

“Sebab, setiap fakta sejarah yang terbeber, akan selalu menyajikan sederet teka-teki di belakangnya. Ini yang kerap dilupakan orang,” kata Purwadi, seperti pernah disampaikannya dalam koran ini.

Jadi, agar teka-teki, praduga, prasangka atau malah dugaan-dugaan yang kerap kali bernada negatif bisa ditepis maka tindak lanjut sebuah kebijakan memang harus diselesaikan hingga masyarakat benar-benar melihat bukti sepadan atas langkah awal  yang telah dicanangkan.

Boleh saja Pak Jokowi menjabat jadi Gubernur DKI nanti, malah pasti tidak sedikit warga Solo ikut bergembira dengan prestasi ini, tapi pekerjaan yang belum terselesaikan sesuai janji saat ingin menjadi Pak Wali untuk kedua kali mestinya bisa dituntaskan sejak dini. Minimal, penerus Pak Jokowi benar-benar bisa melaksanakan amanah yang telah digariskan sebelumnya.

Jangan sampai Solo pasca-Jokowi berubah arah. Sungguh masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas di kota ini sepeninggal Jokowi kalau nanti jadi ke DKI. Tidak perlulah diperinci satu persatu, namun arah kebijakan yang selama ini telah benar hendaknya tidak berubah hanya demi kepentingan kelompok, golongan apalagi demi kepentingan pribadi. Semoga…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya