SOLOPOS.COM - Foto Perak Kotagede (JIBI/Harian Jogja/Antara )

Harianjogja.com, JOGJA-Kotagede sejak dulu dikenal sebagai kota peraknya Jogja. Namun seiring berjalnnya waktu, banyak perajin yang mulai beralih pekerjaan.

Ya. Pandit Anggoro Triprasetyo masih merasakan masa-masa kejayaan kerajinan tatah logam perak di Kotagede. Awalnya, pada 2003  ia menekuni kembali usaha lama sebagai perajin perak. Usaha warisan orangtuanya. Dalam sebulan, keuntungan para perajin saat itu bisa mencapai Rp20 juta hingga Rp30 juta. Saat itu, Pandit memiliki tiga toko dengan 14 karyawan, enam penjaga toko dan delapan bagian produksi. Dalam sebulan, dia mampu meraih keuntungan 150% untuk mengembangkan usaha dan membayar karyawannya.

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

“Sebelum 2007, itu masa-masa kejayaan perak. Sekarang, paling tinggi hanya untung 50%. Itu sudah terbilang bagus,” cerita Pandit saat ditemui Harianjogja belum lama ini.

Kini, Pandit hanya memiliki enam karyawan panggilan. Pasalnya, keuntungan fantastis dasawarsa lalu kini mulai tergerus oleh waktu.Wisatawan nusantara yang biasanya padat merayap pada masa libur sekolah maupun libur akhir pekan, seakan enggan menyapa Pandit dan perajin perak lainnya di Kotagede.

Saat masa liburan, jarang sekali bus-bus berderet parkir. Kondisi tersebut sewindu lamanya dirasakan perajin perak. Dampaknya pun terasa. Satu persatu mereka banting setir. Besar pasak dari pada tiang, besar pengeluaran dari pada keuntungan yang didapat. Alasan itulah yang perajin tanggung.

Selain bahan baku perak mahal sebesar Rp7,8 juta per kilogram keuntungan yang di dapat tak lagi menjanjikan. Sejak 2007, kata Pandit, secara umum tak ada peningkatan ekspor perak yang terjadi di Kotagede. Terbukti, para perajin tidak bergairah memproduksi kerajinan peraknya. Tidak sedikit yang beralih mata pencarian. Dia sendiri menjadi salah satu perajin yang terimbas merosotnya penjualan perak.

“Dulu 90% di sini perajin perak, tapi sekarang mungkin tinggal 30%-40% saja. Banyak yang meninggalkan pekerjaannya, ada pula yang beralih dari perajin perak menjadi perajin tembaga atau kuningan. Saat masa kejayaan dulu rata-rata omzet per bulan Rp20 juta-Rp30 juta, sekarang mendapat Rp5 juta saja susah,” cerita Pandit.

Rupanya produksi kerajinan perak di wilayah tersebut kalah bersaing dengan produk-produk dari luar daerah seperti dari Jawa Timur dan produk Tiongkok. Hal itu terjadi lantaran para perajin tidak menguasai teknologi masa kini. Peralatan yang digunakan sangat usang dan tertinggal 20 tahun lalu. Sialnya, para perajin tidak memiliki akses informasi untuk mendapatkan peralatan kerajinan perak yang murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya