SOLOPOS.COM - Ilustrasi Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram Islam (Instagram/@sanggarnusantara_dotcom)

Solopos.com, KOTA JOGJA — Asal-usul Pulau Jawa sudah pasti tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, tepatnya pada tahun 1582. Kerajaan ini dulu pernah menguasai hampir sebagain besar pulau Jawa dan menjadi titik awal ketatanegaraan di pulau Jawa setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya.

Dilansir dari Suara.com, Selasa (30/11/2021), Kerajaan Mataram Islam yang dalam bahasa Jawa juga disebut sebagai Nagari Kasultanan Mataram merupakan kerajaan Islam terakhir di pulau Jawa dengan pusat pemerintahannya berada di wilayah Kuthagedhe, Kota Jogja, Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam buku berjudul Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta karya Wiranata Sujarweni, kerajaan ini bermula dari keberhasilan Dhanang Sutawijaya atau Panembahan Senapati  yang mengalahkan Arya Penangsang dalam pertempuran yang tertulis dalam sebuah surat berjudul Babad Tanah Jawi.

Baca Juga: Sego Gono, Kue Tart Jadul Khas Kuliner Temanggung

Karena keberhasilannya mengalahkan Arya Panangsang, yang merupakan seorang Adipati Jipang yang memiliki nama lain Ji Pang Kang, Dhanang Sutawijaya dianugrahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh Sultan Adiwijaya, Raja Kerajaan Pajang.

Daerah kekuasaan yang diterima Sutawijaya itu berada di Hutan Mentaok dan saat Kerajaan Mataram berdiri, gelar Panembahan Senapati disematkan. Lokasi Hutan Mentaok sebelumnya berada di kawasan Banguntapan, Kabupaten Bantul, kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Kuthagedhe.

Setelah Sutajaya meninggal, kekuasaan diturunkan kepada putranya, Prabu Hanyakrawati. Namun Hanyakrawati hanya memerintah sebenar saja karena wafat saat berburu di Hutan Krapyak. Atas kejadian tersebut, Hanyakrawati mendapat sebutan Sesuhunan Seda Krapyak yang berarti Raja yang wafat di Krapyak.

Baca Juga: Trulek Jawa, Burung Endemik yang Hanya Ada di Jawa

Dari Hanyakrawati, kekuasaan jatuh ke tangan putranya, yaitu Adipari Martopuro. Namun tidak bertahan lama karena Martopuro menderita sakit. Kemudian, takhta pemerintahan diserahkan kepada Mas Rangsangpada atau yang dikenal dengan Sultan Agung. Sultan Agung memerintah pada periode 1613-1645.

Di masa pemerintahan Sultan Agung inilah, Kerajaan Mataram Islam berhasil melakukan ekspansi dan menguasai hampir seluruh tanah Jawa. Ia juga melakukan perlawanan kepada tentara kolonial VOC dengan bekerjasama bersama Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon.

Seusai Sultan Agung wafat, takhta kerjaan diberikan kepada Amangkurat I, Di masa ini, lokasi Kraton dipindahkan ke Plered dan gelar sultan berubah menjadi sunan. Berbeda dengan Sultan Agung yang sangat anti dengan penjajah Belanda, Amangkurat I justru menjalin afiliasi dengan penjajah Belanda. Karena afiliasi inilah yang menyebabkan adanya perpecahan dalam Kerajaan Mataram Islam.

Baca Juga: Demo Buruh di Semarang, Singgung Ganjar Nyapres

Hingga akhirnya pusat pemerintahan harus dipindahkan ke Kartasura yang saat ini merupakan Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Jika diurutkan, pengganti Amangkurat I adalah Amangkurat II, lalu Amangkurat III kemudian Pakubuwono I, Amangkurat IV dan Pakubuwono II.

Menurut Ki Sabdacakratama dalam bukunya Sejarah Keraton Yogyakarta, perpecahan kerajaan Mataram Islam karena penjajah Belanda masih terjadi di hingga Pabubuwono III naik takhta dan pada masa inilah, wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kasultanan Ngayogyakarta dan  Kasunanan Surakarta pada 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam perjanjian Giyanti. Nama Giyanti adalah sebuah daerah yang dekat dengan Salatiga. Dari sinilah kerajaan Mataram Islam mengalami keruntuhannya.

Seni dan Budaya Jawa

Dihimpun dari Wikipedia, Dibalik akhir dari kisah Kerajaan Mataram Islam, pada masa kejayaannya, kerajaan ini memiliki  peninggalan yang menjadi bagian dari kisah tanah Jawa yang tidak terlupakan, di antaranya adalah peninggalan budaya Jawa yang dikenal hingga saat ini. Budaya Jawa ini tertuang dalam rupa seni gamelan, seni batik, keris, wayang kulit hingga tari tradisional dan tingkatan Bahasa Jawa berdasarkan gelar atau jabatan.

Baca Juga: Teman Ditahan, Anggota Perguruan Pagar Nusa Geruduk Polres Grobogan

Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram juga mencakup sebagian besar jawa Barat sehingga banyak masyarakat Sunda yang berasimilasi secara budaya yang tertuang dalam bentuk seni rupa wayang golek. Selain itu, Bahasa Sunda juga mulai menggunakan tingkatan bahasa yang didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan, untuk saling menghargai, menghormati orang lain yang sebagaimana tercermin dalam Bahasa Jawa. Selain itu, aksara jawa juga digunakan untuk menulis Bahasa Sunda sebagai cacarakan.

Sistem Birokrasi Tanah Jawa

Pada masa Kerajaan Mataram ini, pembagian wilayah administratif juga sudah dilakukan. Struktur administratif yang digunakan menganut pola konsentris, yang terdiri dari Kutanegara, Nagarung, Mancagara, dan Pasisiran.

Berdasarkan pembagian wilayah secara administratif tersebut, Kerajaan Mataram Islam juga melahirkan sistem birokrasi berdasarkan pada jabatan-jabatan yang disusun menurut wilayah administratif yang dikuasainya,  meliputi Sesuhunan atau Sultan, yang merupakan gelar yang merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhkta (jumeneng).

Baca Juga: Buruh Jateng Desak Pemerintah Tak Pakai UU Cipta Kerja untuk UMK 2022

Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan kepada seorang Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Gedong Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh Patih Lebet, dan setiap wedana dibantu oleh kliwon (asisten di bawah wedana), kabayan (asisten di bawah kliwon), dan 40 mantri jajar (salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).

Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung, sultan menyerahkannya kepada Wedana Jawi yang dikepalai oleh seorang Patih Jawi. Masing-masing wedana juga dibantu oleh kliwon, kabayan, dan 40 mantri jajar. Semua wedana tersebut bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung diserahkan kepada demang atau kyai lurah

Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung (pusat pemerintahan), di Mancagara Wétan maupun Mancagara Kilèn, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh Wedana Bupati baik di wilayah Mancagara maupun Pasisiran. Para bupati di wilayah Mancagara berpangkat Tumenggung atau Raden Arya, sedangkan di wilayah Pasisiran dikenal dengan Syahbandar yang memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden Ngabehi.

Baca Juga: Banjir Bandang Landa Wonosoco Kudus, 62 Rumah Warga Terdampak



Para bupati Mancagara maupun Pasisiran berada dalam kordinasi dan bimbingan langsung dari Wedana Bupati. Selain menempatkan bupati di wilayah Mancagara dan Pasisiran, sultan juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan pertimbangannya.

Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas rahasia yang disebut telik sandi atau Abdi Kajineman. Selain para pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar 150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan, keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda pemerintahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya