SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Tiga kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno berupaya meragukan kepakaran guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Prof Edward Omar Syarief Hiariej saat menjadi ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, dan Teuku Nasrullah, secara bergantian mempertanyakan basis keilmuan Eddy–sapaan Edward. Eddy merupakan pakar hukum pidana, tetapi dalam sidang ini menjadi ahli dalam sengketa pemilu. Ketiga advokat tersebut mengaku mengenal Eddy secara pribadi sehingga mengerti pula keahliannya yang sebenarnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Saya kagum dengan sobat ahli [Eddy]. Tapi, Anda tulis berapa buku terkait pemilu dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif?” tanya Bambang Widjojanto kepada Eddy dalam sidang di Jakarta, Jumat (21/6/2019) malam.

Kolega Bambang, Denny Indrayana, mengakui penguasaan asas dan teori hukum Eddy sangat kuat. Meski demikian, Denny menyoroti pendekatan tekstual yang dipakai Eddy kala menilai permohonan Prabowo-Sandi. Padahal, menurut Denny, dalam hukum tata negara dikenal pendekatan kontekstual untuk menggapai keadilan substantif.

“Mana fokus riset saudara terkait pidana pemilu?” kata Denny.

Serangan terhadap Eddy juga dilayangkan oleh Teuku Nasrullah. Dia bahkan menilai keterangan ahli dalam sidang tak lebih sebagai pledoi kuasa hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan bukan makalah ilmiah.

“Saya sayangkan sehingga saya beranggapan seharusnya Prof Eddy duduk di deretan kuasa hukum 01 [Jokowi-Ma’ruf],” ujarnya.

Menanggapi ucapan tiga advokat tersebut, Eddy mengakui bahwa dirinya tidak pernah membuat buku dan jurnal terkait pemilu. Meski demikian, dia meyakini bahwa seorang profesor hukum dapat menilai bidang ilmu di luar keahlian dengan menggunakan asas dan teori hukum.

Dalam sidang, Eddy membahas konsep kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) hukum pidana internasional yang kemudian diadopsi dalam hukum pemilu. Pria berdarah Maluku ini mengaku pernah menulis buku tentang pelanggaran hak asasi manusia berat dan pengantar buku pidana internasional.

“Saya belum pernah tulis soal pemilu,” ucapnya.

Meski tiga pengacara tersebut meragukan kompetensinya, Eddy memastikan tetap membina persahabatan dengan mereka. Bahkan, dia selalu “cium pipi kiri dan cium pipi kanan” kala bersua dengan Bambang Widjojanto.

“Saya mengikuti pesan Gus Dur. Kalau beda pendapat cukup di kerongkongan, jangan sampai di hati,” tuturnya. Eddy juga enggan menjawab pertanyaan Bambang soal literatur apa saja yang pernah dibuatnya tentang kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) karena menilai sidang MK ini bukan forum untuk mempertanyakan itu.

Dalam sidang, Eddy memberikan keterangan sebagai ahli yang didatangkan pihak terkait pasangan Jokowi-Ma’ruf. Dia memberikan keterangan setelah dua saksi yakni Chandra Irawan dan Anas Asikin. Seusai Eddy, giliran ahli pakar hukum tata negara Heru Widodo yang memberikan keterangan.

Sidang pemeriksaan Perkara No. 01/PHPU-PRES/XVII/2019 hari ini adalah kali ketiga untuk memeriksa saksi dan ahli pihak-pihak yang berperkara. Pemohon Prabowo-Sandi mendapatkan kesempatan perdana pada Rabu (19/6/2019) dengan mengajukan 14 saksi dan dua ahli, dilanjutkan termohon KPU pada Kamis (20/6/2019) yang hanya mengajukan satu ahli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya