SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Banyak pihak yang misleading dalam persepsinya terhadap suku bunga. Penurunan BI-rate tidak serta merta dapat diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan. Masih ada faktor lain di luar benchmark rate (BI-rate) yang secara simultan bekerja (tarik menarik), sehingga tidak otomatis dapat menurunkan suku bunga. Itulah sebabnya, kendati Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuannya hingga ke level 6,50% di awal Agustus 2009 lalu, suku bunga bank-bank nampaknya masih belum banyak bergeming.

Pun setali tiga uang dengan penurunan suku bunga penjaminan LPS. Kendati sudah mencapai 7,25%, nampaknya tidak terlalu banyak berpengaruh. Maklum, suku bunga acuan bank-bank selama ini sudah sangat “liar”. Bayangkan, hingga tulisan ini diturunkan, bank-bank papan atas masih banyak yang mengenakan bunga di atas 8%. Itu artinya, dana-dana tersebut tidak mendapatkan penjaminan dari LPS. Dana-dana yang mendapatkan ekstra suku bunga tinggi ini biasanya milik nasabah kelas kakap, yang tidak sensitif lagi dengan penjaminan LPS. Maklum, dana mereka rata-rata di atas Rp 2 miliar, yang berarti sudah tidak masuk dalam skema penjaminan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Kompetisi bunga tinggi ini tidak hanya terjadi di kalangan perbankan swasta, namun juga bank BUMN. Bahkan beberapa para pemilik dana kakap seperti Jamsostek, Dana Pensiun, serta lembaga pengelola dana kakap lainnya, rata-rata masih ”menyandera” bank BUMN dan swasta untuk memberikan suku bunga tinggi (melebihi penjaminan LPS). Selain itu, masih terjadinya persaingan diam-diam antara perbankan dengan pemerintah yang tengah gencar mengeluarkan surat utang, Sukuk, ORI yang rata-rata ”berbunga” di atas 9%, mengakibatkan suku bunga bank semakin sulit untuk segera turun.    

Dilema bankir
Kalau banyak kalangan, terutama pelaku sektor riil berharap banyak bahwa suku bunga kredit bank akan segera turun, itu tidak terlalu salah. Namun, realitas yang terjadi di lapangan sungguh tidaklah seindah dan segampang yang dibayangkan. Bank-bank masih saja berkompetisi secara terbuka dalam mendapatkan dana-dana kakap dari masyarakat. Jika bank-bank segera menurunkan suku bunganya begitu saja, ada risiko terjadi migrasi dana ke bank-bank yang masih menawarkan suku bunga tinggi, atau pindah ke instrumen lain (obligasi/surat berharga, termasuk yang diterbitkan Departemen Keuangan).

Nah, bisa dibayangkan kalau ada bank yang menawarkan suku bunga yang sangat tinggi itu, bisa dipastikan akan mempengaruhi bank-bank lainnya untuk melakukan hal serupa. Kalau tidak, nasabah kakapnya akan lari memindahkan dananya ke bank lain, yang mampu memberikan suku bunga tinggi. Padahal kalau selama ini mereka sudah kelebihan likuiditas, kemudian diikuti dengan hengkangnya beberapa nasabah kakap, bukan tidak mungkin mereka akan kembali mengalami kekeringan likuiditas. Inilah bentuk dilema yang dihadapi bankir di tengah masih ketatnya likuiditas di pasar uang.  Kondisi demikian, tentunya tidak bisa dibiarkan terlalu lama.

Penurunan BI-rate hingga ke level 6,5%, setidaknya merupakan sinyal bahwa otoritas perbankan juga menginginkan situasi likuiditas yang lebih longgar lagi. Kendati memerlukan waktu, pelaku sektor riil masih boleh berharap bahwa suku bunga dana akan segera turun, dan kemudian akan segera diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Memang, waktunya tidak bisa seketika (instant), namun membutuhkan beberapa bulan untuk menyesuaikannya. Bisa saja dua hingga empat bulan ke depan, baru akan terjadi penurunan suku bunga. Yang jelas, ruang penurunan suku bunga kredit masih cukup besar.

Di sinilah dibutuhkan adanya kesabaran dari para pelaku sektor riil, yang selama ini sudah sumpek dengan rejim suku bunga tinggi. Bisa dibayangkan, rata-rata suku bunga kredit yang berlaku sekarang ini masih di atas 14%, bahkan ada yang menawarkan di atas 16%. Dengan kondisi semacam ini, jelas akan membuat marjin keuntungan yang didapatkan pelaku bisnis menjadi semakin mengecil. Bukan tidak mungkin, mereka akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan (membayar) pokok dan bunga kredit. Kalau ini terjadi, maka akan memukul industri perbankan dalam bentuk kredit bermasalah (non performing loans).

Tentunya, hal ini juga seiring dengan meningkatnya level of confidence para pelaku ekonomi, yang terutama dipicu oleh stabilitas sosial-politik pada pemilu 2009, dimana modal global mulai masuk kembali ke Indonesia. Inilah modal besar yang akan menyebabkan likuiditas melonggar (easy money). Selanjutnya, bank-bank pun akan bisa menurunkan suku bunganya, dan kembali melanjutkan ekspansi kreditnya, baik yang bersifat produktif (investasi dan modal kerja) serta kredit konsumtif (KPR, KPM, KTA, Kartu Kredit). Trend suku bunga ke depan masih cenderung menurun, terlebih lagi dengan ekspektasi inflasi yang rendah, yakni 4% (tahun 2009).

Keniscayaan
Penurunan suku bunga kredit adalah sebuah keniscayaan. Bahkan suku bunga perbankan amat mungkin turun pada bulan-bulan ini atau bulan mendatang, seiring dengan masuknya modal asing jangka pendek ke Indonesia. Untuk lebih memacu percepatan penurunan suku bunga, bank-bank besar (BUMN) sebaiknya bisa mulai menjadi market maker, sebagai pioneer penurunan suku bunga dana dan kredit. Kalau perlu, bankir bank papan atas bisa duduk bersama untuk merumuskan cara tercepat untuk menurunkan suku bunga dana, sehingga tidak lagi terjadi kompetisi yang tidak sehat di atas. Nah, kalau para market maker ini sudah mulai menyadari, maka genderang suku bunga rendah akan segera terdengar.

Pemerintah (Departemen Keuangan), yang membawahi beberapa BUMN pengelola dana masyarakat seperti Jamsostek, Dana Pensiun, yang selama ini menyandera bank-bank papan atas (baik bank BUMN maupun swasta) untuk tidak meminta suku bunga ekstra lagi. Dengan cara semacam itu, penurunan suku bunga dana akan segera terjadi, dan ujungnya adalah penurunan suku bunga kredit yang semakin terjangkau dunia usaha. Inilah yang ditunggu-tunggu para debitor (dunia usaha), yang selama ini sudah sangat sumpek dengan tingginya suku bunga kredit. Rejim suku bunga rendah, sudah saatnya berlaku di Indonesia sekarang ini, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih tinggi lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya