SOLOPOS.COM - Suasana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Minggu (20/6/2021) siang. (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SOLO — Surakarta dan Kartasura adalah nama dua daerah di Jawa Tengah yang mirip, tetapi beda wilayah. Tahukah Anda mengapa nama kedua wilayah ini mirip?

Jika dilihat dari kebahasaan, keduanya sama-sama terdiri dari kara sura dan karta. Sura dalam bahasa Jawa Kuno bisa diartikan keberanian, sementara karta berasal dari bahasa Sanskerta krta yang berarti pekerjaan yang telah dicapai. Karta juga bisa diartikan kemakmuran.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Surakarta

Surakarta merupakan nama resmi dari Kota Solo. Istilah Surakarta biasa dipakai dalam tata kelola pemerintahan. Solo merupakan nama lain dari Surakarta. Munculnya istilah Solo atau Sala tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya kota ini. Istilah Solo lebih banyak dipakai perusahaan swasta karena dianggap lebih “menjual” dalam mempromosikan produk perusahaan itu.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca juga: Tembok Bolong Keraton Solo di Baluwarti, Saksi Bisu Banjir Bandang 1966

Kartasura

Kartasura merupakan nama sebuah kecamatan di Sukoharjo. Kebetulan, Kartasura berada di sebelah barat Surakarta atau Solo. Kartasura menjadi titik temu arus lalu lintas dari tiga kota besar yakni Solo, Jogja dan Semarang.

Sejarah Surakarta & Kartasura

Surakarta dan Kartasura sama-sama pernah menjadi ibu kota Kesultanan Mataram pada 1680-1755. Keraton Kartasura didirikan oleh Amangkurat II pada 1680 karena Keraton Plered (dulu berdiri di wilayah Bantul) diduduki adiknya Pangeran Puger ketika terjadi pemberontakan Trunajaya. Pangeran Puger akhirnya dapat dibujuk bergabung ke Kartasura dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.

Pada masa kepemimpinan Pakubuwono II yang jadi Raja Mataram kesembilan (1726-1742) terjadi Geger Pecinan atau Perang Sepanjang. Peperangan ini dipicu oleh aksi pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang bentukan Belanda yang melakukan pembantaian besar-besaran terhadap keturunan Tionghoa di Batavia. Alasannya, kondisi perekonomian warga Tionghoa yang tangguh, sementara pada saat yang sama, VOC mengalami krisis.

PB II terkejut melihat keberanian orang Tionghoa dan akhirnya bekerja sama dengan mereka melawan VOC. Pertempuran gabungan antara Jawa, Tionghoa, Melayu dan Arab yang dipimpin Said Ali melawan VOC juga pecah di Semarang. Dalam pertempuran ini, kubu VOC menang telak. Belanda melihat itu sebagai kesempatan lalu mengabarkan kemenangan itu dengan mengancam PB II.

Baca juga: Sambut Pemudik, Pedagang Kuliner Kartasura Sukoharjo Mulai Tambah Stok

Ancaman tersebut membuat PB II berubah haluan. Jika sebelumnya ia mendukung warga Tionghoa, saat itu dia berbalik menyerukan agar membantu VOC dengan membunuh orang Tionghoa pada awal 1742. Namun, para bupati tidak ada yang mengikuti perintah PB II.

Setelah PB II kembali menguasai Keraton Kartasura yang hancur, dia kemudian mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya. Saat itu, dia memilih desa terpencil bernama Sala untuk membangun kerajaan baru.

Sejarah dan asal-usul Kota Solo atau Surakarta bermula dari sini. Pada 1745, bangunan kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut ke Desa Sala yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo. Pada 17 Februari 1745, keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti Keraton Kartasura yang kemudian diberi nama Keraton Surakarta. Setiap 17 Februari kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kota Solo atau Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya