SOLOPOS.COM - Ilustrasi elpiji 12 kg (JIBI/Solopos/Burhan Aris Nugraha)

Solopos.com, BANDUNG — Kenaikan harga elpiji 12 kg pada 10 Agustus 2014 lalu berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dunia usaha tidak mampu memenuhi kebutuhan biaya operasional yang kian membengkak.

Ketua Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJI) Kota Bandung, Imas Momon, mengatakan kenaikan harga gas elpiji 12 kg tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada rasional pekerja. Dia beralasan, dengan menurunnya daya beli masyarakat, pengusaha jasa boga anggotanya kesulitan membayar gaji pekerja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Dalam waktu dekat ini kami akan segera berembuk untuk mengambil keputusan terkait kenaikan harga elpiji 12 kg. Karena kebijakan pemerintah itu sudah tentu akan menurunkan daya beli masyarakat yang berimbas pula pada bisnis kami,” katanya, Minggu (14/9/2014).

Menurutnya, setidaknya ada dua opsi yang bisa diambil pertama menaikkan harga jual produk katering atau merasionalisasi pekerja yang ada. Meski begitu, pengeluaran untuk gaji karyawan tidaklah sebesar kenaikan yang dialami harga kebutuhan pokok yang menjadi komponen utama usaha mereka.

Dalam tiga hari terakhir ini, pihaknya seringkali mendapatkan informasi dari anggota dan warga masyarakat mengenai dampak kenaikan harga elpiji 12 kg. Salah satu dampak tersebut adalah meroketnya harga cabai merah tiga kali lipat hampir Rp60.000 dari sebelumnya Rp15.000 per kg.

“Terus terang saja bagi kami pengusaha katering, berat dengan adanya kenaikan harga ini. Karena daya beli masyarakat akan semakin menurun dan harga kebutuhan pokok pun meroket. Kalau sudah begini, kami semakin dibuat bingung. Dengan menaikan harga khawatir tidak akan terkejar konsumen,” ujarnya.

Hal yang sama pun diwacanakan pengusaha hotel di Jawa Barat yang berencana memangkas sejumlah karyawannya akibat membengkaknya biaya operasional. Ketua PHRI Jawa Barat Herman Mochtar mengatakan kenaikkan harga elpiji 12 kg ini akan meningkatkan biaya pengeluaran hotel. Apalagi sebelumnya, sudah ada kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL).

Dia memperkirakan para pelaku sektor tersebut melakukan sejumlah langkah agar bisnisnya tetap bergulir termasuk melakukan efisiensi. “Efisiensi menjadi salah satu opsi kami menyikapi naiknya harga elpiji 12 kg. Kenaikan itu membuat beban semakin berat. Pasalnya, kami harus mengalami kenaikan biaya operasional. Selain itu, persaingan pun kian ketat,” ujarnya.

Sekilas apabila hanya mengacu pada kenaikan harga elpiji 12 kg, hal itu tidak terlalu berpengaruh pada biaya operasional hotel. Akan tetapi, jika diakumulasikan, kenaikkan biaya operasional hotel berdasarkan kenaikan harga elpiji hanya sekitar Rp300.000-Rp600.000.

Permasalahannya bukan hanya itu, melainkan potensi terjadinya kenaikan harga jual komoditi lain. Apalagi, sebelumnya, PT PLN menaikkan tarif dasar listrik (TDL) yang segera disusul kenaikan tahap III. “Pelaku hotel kian menjerit. Okupansi drop, persaingan kian ketat, biaya operasional meningkat. Berat kalau kami menaikkan tarif kamar,” ucapnya.

Apindo Jawa Barat menilai kenaikan harga elpiji 12 kilogram memicu perusahaan harus menaikkan ongkos produksi sehingga bisa berdampak terhadap pengurangan pekerja. Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja menyatakan kenaikkan tersebut sangat memukul dunia usaha, terutama industri makanan dan minuman.

“Pemerintah harus mampu memberikan insentif terhadap industri kecil mamin karena berpotensi mengurangi karyawannya,” ujarnya. Dia menjelaskan lebih baik, ke depan pemerintah mencabut subsidi BBM guna memeratakan subsidi ke yang lain seperti elpiji.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya