SOLOPOS.COM - Ilustrasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)

Bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM)

Seorang penerima bantuan langsung sementara masyarakat mempertontonkan uang Rp300.000 yang diterimanya beberapa waktu lalu di Solo. Uang itu ternyata tak mampu menahan laju inflasi Indonesia sehingga kini lebih buruk dari 1999. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/Solopos)

Solopos.com, MEDAN — Pemerintah dinilai gagal menahan laju inflasi seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Realisasi inflasi Juli 2013 tercatat paling buruk sejak 14 tahun terakhir atau tepatnya sejak 1999, setelah berembusnya angin Reformasi di Indonesia.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Tudingan atas kegagalan pemerintah itu disampaikan Gunawan Benjamin, pengamat Ekonomi Danareksa Sumatra Utara, di Medan, Kamis (1/8/2013). Pada Juli 2013, laju inflasi nasional Indonesia mencapai 3,29%. Jika dibandingkan secara year on year Juli 2013 terhadap Juli 2012, inflasi telah mencapai 8,61%.

Realisasi inflasi Juli 2013 itu bahkan dinilai Gunawan lebih buruk daripada ekpektasi paling pesimistis sejumlah pengamat, termasuk Bank Indonesia. Laju inflasi Juli yang mencapai 3.29% melebih estimasi pengamat yang tidak melewati 3%.

Menurutnya, hal itu menunjukkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga barang karena bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan justru pada saat konsumsi masyarakat merangkak naik yang bertepatan dengan Ramadan, masa masuk sekolah dan Lebaran. Volatilitas harga kebutuhan pokok menjadi penyumbang inflasi yang paling besar.

“Dengan kenaikan inflasi ini maka efektifitas BLSM dalam menyelamatkan daya beli masyarakat bawah menjadi tidak efektif, kenaikan gaji buruh di awal tahun tidak membuat buruh bertambah sejahtera dan parahnya inflasi sudah mengalami kenaikan justru saat kenaikan BBM terus diwacanakan sebelum dinaikkan,” jelasnya.

Disayangkannya, permasalahan inflasi seolah-olah dibebankan pemerintah hanya kepada BI. Sehingga BI merespons tingginya inflasi itu dengan menaikkan BI rate. Menurutnya itu sebenarnya belum menyelesaikan masalah mendasar.

Gunawan lebih melihat buruknya infrastruktur mejadi pemicu inflasi tersebut. Impor barang kebutuhan kronis dilakukan Indonesia sehingga masalah manajemen pengendalian barang kebutuhan pokok yang buruk di lapangan masih sering ditemukan.

Hal itu tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah yang cenderung menyelesaikan masalah kelangkaan barang dengan impor, seperti yang dilakukan saat terjadi kelangkaan daging dan bawang baru-baru ini. Padahal, tuturnya, yang menjadi masalah mendasar adalah output yang memang bermasalah sehingga tingginya permintaan tidak mampu disediakan oleh produksi dalam negeri.

Dalam jangka panjang, ucapnya, pemerintah harus membenahi mahalnya biaya transportasi serta tata niaga barang yang buruk di Indonesia. Hal itulah yang harus dijadikan prioritas pemerintah ke depan. Impor mestinya hanya sebagai alternatif jangka pendek yang tidak seharisnya selalu menjadi jalan keluar dalam mengatasi mahalnya harga kebutuhan masyarakat.

Muaranya Gunawan menilai pemerintah telah keliru mengambil kebijakan menaikkan harga BBM di waktu yang tidak tepat. Lambatnya kebijakan penaikkan harga BBM karena lebih memprioritaskan anggaran untuk BLSM dinilai kebijakan politis semata.

“Sekarang lihat dampak buruknya, masyarakat juga yang menanggung tingginya beban kebutuhan hidup. Harus dipahami bahwa tingginya inflasi itu yang membuat kemiskinan sulit untuk diselesaikan. Eksistensi sebuah negara juga bisa hilang bila tidak mampu mengendalikan inflasi,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya