SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ilustrasi (Dok/JIBI/SOLOPOS)

SOLO–Ketua Organisasi Pengusaha Nasional Kendaraan Bermotor di Jalan (Organda) Solo, Joko Suprapto, menuturkan pihaknya mendukung rencana kenaikan harga BBM, asal pasokan bahan bakar di lapangan tetap lancar.  Kendati demikian, pihaknya berharap kenaikan harga BBM itu tidak lebih dari Rp1.500 per liter.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Kalau mau naik silakan. Tapi, harapannya naik Rp1.000 per liter atau maksimal Rp1.500 per liter saja. Kalau lebih dari itu saya rasa multiflier effect-nya akan sangat besar,” kata Joko.

Pihaknya juga berharap begitu pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, maka Kementerian Perhubungan diminta segera menindaklanjuti untuk menyesuaikan tarif angkutan.

“BBM naik, kami tinggal menunggu penyesuaian tarif dari Kementerian Perhubungan. Harga solar kalau mau naik ya silakan. Asal pasokannya dipenuhi, jangan langka seperti kemarin.”

Seberapa besar kenaikan tarif yang mungkin terjadi jika BBM naik, Joko mengaku belum bisa memperhitungkan. Karena, untuk menghitung tarif banyak faktor yang harus diperhitungkan tidak hanya dari harga BBM saja. “Tapi ada biaya awak kendaraan, biaya penyusutan, biaya KIR, izin dan sebagainya hingga pajak-pajak lainnya.”

Jika tarif angkutan ini naik, maka semua sektor bisnis dan usaha juga akan terkena dampaknya. “Yang pasti harga sembako akan naik.”

Ketua Organisasi Pengusaha Nasional Kendaraan Bermotor di Jalan (Organda) Solo, Joko Suprapto. (Dok/JIBI/SOLOPOS)

Di satu sisi Joko beranggapan bahwa kenaikan harga BBM merupakan kebijakan pahit yang harus diterima, dari pada pasokan bahan bakar tersendat. Apalagi saat ini bisnis angkutan sedang mengalami kelesuan.

Bisnis angkutan dinilai sudah lesu selama bertahun-tahun. Paling tidak sudah tujuh tahun terakhir ini. Rata-rata load factor bus antar kota antar provinsi (AKAP) dan antar kota dalam provinsi (AKDP) hanya berada di kisaran angan 50%-60%. Kecuali saat Lebaran yang bisa mencapai 100%. Sementara, load factor bus kota hanya berkisar 40%-50%.

Agar bisnis ini tetap jalan di tengah tingginya biaya bahan bakar, pihaknya berharap pemerintah bisa memberikan insentif lain seperti insentif pajak, dana peremajaan hingga pengawasan terhadap peredaran suku cadang imitasi. Pihaknya juga berharap pemerintah bisa mengawasi tata niaga suku cadang, karena saat ini harga suku cadang asli meroket tinggi.

“Selama ini pengusaha angkutan belum pernah dapat subsidi apapun dari pemerintah. Tapi justru kami yang menyubsidi pemerintah, contohnya dengan menerapkan tarif 50% bagi anak sekolah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya