SOLOPOS.COM - Didik G Suharto Pegajar Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (JIBI/SOLOPOS/dok)

Didik G Suharto, Pengajar Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (JIBI/SOLOPOS/dok)

Para pegawai negeri sipil (PNS)/tentara/polisi bisa bernapas lega. Di tengah impitan dan ancaman kenaikan berbagai macam harga/tarif, mereka sebentar lagi bakal merasakan kenaikan gaji sekitar 10%. Gaji pokok terendah PNS golongan IA bermasa kerja nol tahun menurut aturan yang baru adalah Rp1.260.000. Sedangkan gaji pokok tertinggi golongan IVE bermasa kerja 32 tahun adalah Rp4.603.700. Gaji tersebut belum termasuk tunjangan-tunjangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Berdasar pertimbangan PP No 15/2012 yang mengatur perubahan gaji PNS, penaikan gaji dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna serta kesejahteraan PNS. Persoalan gaji pasti berpengaruh terhadap kesejahteraan. Kebijakan kenaikan gaji atau pemberian gaji ke-13 bagi PNS yang hampir tiap tahun terealisasi terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan pegawai.

Persoalannya, dapatkah daya guna dan hasil guna (kinerja) para abdi negara semakin meningkat seiring perbaikan gaji mereka? Pemerintah dan masyarakat berharap peningkatan kesejahteraan pegawai tersebut juga berimbas terhadap peningkatan kinerja.

Pegawai lebih terpacu untuk memberikan pelayanan memuaskan kepada publik. Pegawai juga diharapkan tidak tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan pribadi. Asumsi bahwa kenaikan gaji akan berpengaruh pada peningkatan kinerja seharusnya menjadi tantangan bagi para PNS. Idealnya, kesejahteraan pegawai yang kian meningkat semakin memacu kinerja mereka.

Alasan
Namun, publik seyogianya tidak terlalu berharap banyak pada peningkatan kinerja pegawai setelah kenaikan gaji mereka. Kebijakan menaikkan gaji PNS sangat mungkin tidak serta-merta berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai. Mengapa? Minimal ada tiga alasan.

Pertama, kebijakan kenaikan gaji yang diberlakukan secara seragam atau semua pegawai merasakan kenaikan gaji kurang efektif memacu prestasi kerja individu pegawai. Pegawai yang berprestasi atau tidak berprestasi tetap mendapat berkah dari kebijakan kenaikan gaji rata-rata 10%.

Dengan kata lain, kebijakan tersebut tidak mampu memberikan stimulan kepada upaya-upaya peningkatan kinerja pegawai. Pemberian tunjangan yang berbasis prestasi kerja atau beban kerja dipandang lebih tepat untuk mendorong kinerja pegawai. Ketepatan penataan remunerasi pegawai (gaji, tunjangan, dan lainnya) penting bagi perwujudan keadilan dan proporsionalitas struktur gaji/tunjangan yang diterima pegawai.

Kedua, masalah kinerja bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga menyangkut sistem-sistem lain. Perbaikan atas struktur penghasilan (remunerasi) pegawai hanya bagian kecil dari mekanisme reward and punishment. Terdapat bagian-bagian lain (misalnya promosi dan sanksi) serta sistem-sistem lain yang berperan dalam peningkatan kinerja.

Sistem perekrutan, pengawasan, pembinaan dan pengembangan karier merupakan contoh persoalan yang perlu diperbaiki untuk membenahi kinerja PNS. Masih rendahnya kinerja PNS atau masih adanya pungli/korupsi meski telah dilakukan penataan remunerasi adalah bukti bahwa sistem-sistem lain harus simultan diperbaiki.

Ketiga, persoalan kinerja terkait pula dengan kultur pegawai/birokrasi. Budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung turun-temurun dan berlangsung lama di dalam birokrasi sering kali tidak kondusif bagi langkah-langkah pewujudan kinerja yang unggul.

Budaya-budaya seperti patronase, ewuh pakewuh, suka dilayani daripada melayani, perlu didekonstruksi untuk mendorong peningkatan kinerja pegawai. Faktor keteladanan pemimpin dalam hal ini strategis untuk mendobrak kebekuan kebiasaan/tradisi negatif yang telah telanjur mengakar kuat di birokrasi pemerintahan.

Langkah Konkret
Melihat upaya pemerintah sekarang, ada sebersit optimisme bahwa persoalan kinerja pegawai yang selama ini sering dikeluhkan publik akan teratasi, minimal terkurangi. Langkah konkret pemerintah itu tampak dari terobosan-terobosan terkait peraturan perundang-undangan. Sejumlah regulasi telah disusun guna mendongkrak kinerja pegawai.

Setelah PP No 53/2010 tentang Disiplin PNS, di pengujung 2011 pemerintah menerbitkan PP No 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. Secara khusus, PP No 46/2011 ini hendak mengganti PP No 10/1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pembinaan pegawai saat ini.

Ada ketentuan menarik dan layak diapresiasi dari PP No 46/2011, yakni aturan mengenai keharusan penilaian prestasi kerja PNS yang dilakukan berdasar prinsip objektif, terukur, akuntabel, partisipatif dan transparan. Berdasar Pasal 4 PP No 46/2011, prestasi kerja pegawai tersebut dinilai dari unsur sasaran kerja pegawai (SKP) yang merupakan rencana dan target kerja pegawai dan perilaku kerja yang meliputi aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama dan kepemimpinan.

Di sejumlah lembaga pemerintah, model penilaian semacam itu bukan hal baru. Terobosan pemerintah untuk mencoba mengaplikasikan kepada seluruh PNS patut didukung agar setiap pegawai bisa dinilai prestasi kerjanya. Harus disadari bahwa tidak sedikit pegawai pemerintahan yang tidak jelas kontribusinya bagi organisasi. Persoalan semacam ini yang tampaknya dicoba diintervensi dengan PP No 46/2011.

Sayangnya, pelaksanaan peraturan tersebut masih sekitar dua tahun lagi atau menunggu hingga 1 Januari 2014 (Pasal 33). Selain itu, potensi PP No 46/2011 menjadi hanya sekedar aturan formalitas juga amat besar. Keharusan penyusunan SKP dan perilaku kerja pegawai rentan menjadi hanya berupa pemenuhan aspek administratif/prosedural. Hal ini didasari realitas selama ini bahwa masing-masing atasan PNS cenderung selalu melindungi bawahannya. Artinya, atasan cenderung selalu permisif atas prestasi kerja bawahannya.

Di bagian lain, output dari penilaian prestasi kerja juga tidak jelas. Pejabat penilai hanya dapat memberikan rekomendasi berdasar hasil penilaian prestasi kerja sebagai bahan pembinaan terhadap PNS yang dinilai (Pasal 24). Padahal, pembinaan PNS selama ini (misalnya penempatan pegawai dalam jabatan, pemindahan, diklat dan tugas belajar) sering diwarnai oleh subjektivitas elite-elite di tingkat atas.

Jadi, harus ada komitmen kuat khususnya dari pihak yang berkompeten dalam pengembangan SDM untuk menempatkan persoalan kinerja pegawai sebagai sasaran strategis setiap lembaga pemerintahan.

Di bagian lain, Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang akan menindaklanjuti PP No 46/2011 dengan peraturan teknis (antara lain mengenai pedoman penyusunan dan penilaian SKP, kriteria penilaian perilaku kerja serta tata cara penilaian prestasi kerja) perlu memperhatikan kejelasan parameter dan konsekuensi dari aturan teknis yang disusun sehingga tidak menjadi “macan ompong”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya