SOLOPOS.COM - Sukinah berdiri di depan rumahnya di Dusun Ronggojati RT 002/RW 004, Desa Ronggojati, Batuwarno, Wonogiri, Senin (20/3/2017). (Danur Lambang P/JIBI/Solopos)

Kemiskinan Wonogiri dialami Sukinah, janda usia 72 tahun.

Solopos.com, WONOGIRI — Sukinah, 72, duduk termangu di teras rumahnya, Senin (20/3/2017). Asbes, gedek, dan papan kayu saling menyambung tercipta dinding rumahnya. Daun-daun kering berserakan di atap yang gentingnya tersusun tak beraturan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sinar matahari menembus ke dalam rumahnya melewati lubang-lubang gentingnya. Di rumah petak berukuran 4,5 x 4,5 meter (m) di Dusun Ronggojati RT 002/RW 004, Desa Ronggojati, Batuwarno, Wonogiri itulah nenek kelahiran 12 Juni 1935 tersebut melanjutkan hari-hari tuanya seorang diri.

Ekspedisi Mudik 2024

Di saat musim penghujan, Sukinah berjibaku dengan tetesan-tetesan air yang jatuh dari atapnya. Sudah sejak lama rumah tersebut tak kunjung diperbaiki. Kamar tidurnya berupa bilik pengap yang bercampur dengan beberapa karung gabah.

Dia sengaja menaruh karung-karung gabahnya itu di dekat ranjangnya yang tertutup kelambu agar tidak dipatuk ayam. Kendati demikian, ayam-ayam itu masih saja membandel dengan masuk dan terkadang mengeluarkan tahi di dalam kamarnya.

Sebelum hidup seorang diri, dia memiliki suami dan menetap di Jakarta. Namun hidupnya berubah ketika mantan suaminya, Abdul Adjid, menceraikannya pada 27 Januari 1979. Kedua sejoli itu sebenarnya hidup bahagia sebelum bercerai.

Namun karena ada orang ketiga, rumah tangganya hancur dan memilih untuk kembali ke kampung halaman di Dusun Ronggojati RT 002/RW 004, Desa Ronggojati, Batuwarno, Wonogiri, setelah diceraikan mantan suaminya itu.

“Saya pulang bersama kedua orang anak saya setelah bercerai. Karena tuntutan hidup, saya merantau ke Karanganyar untuk bekerja di sebuah pabrik plastik. Sedangkan kedua anak saya, saya titipkan kepada teman saya di Solo,” tutur dia saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Senin.

Seiring berjalannya waktu, anak-anaknya telah tumbuh besar dan sudah bisa mencari nafkah sendiri. Sukinah akhirnya pulang dengan membeli sebidang tanah dan sepetak rumah di sebelah rumah orang tuanya. Sejak saat itulah, Sukinah mulai menempati rumah petaknya seorang diri.

“Kedua anak saya enggak pernah pulang. Sebagai buruh tani, hasilnya enggak menentu. Sehari biasanya dapat Rp35.000. Itu pun kalau ada pekerjaan. Kalau uang saya habis, saya jual ayam saya untuk membeli beras,” sambung dia.

Kendati rumahnya berdekatan dengan rumah adiknya, Tayem, Sukinah enggan tinggal di sana. “Saya enggak mau jadi benalu. Lebih baik tinggal di sini,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya