SOLOPOS.COM - Dilla Rosiyanti, 8, gadis kecil yang duduk di kelas II SDN 1 Srawung RT 003/RW 002, Gesi, Sragen, Kamis (6/10/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Kemikinan Sragen dialami dua bocah kakak beradik di Srawung, Gesi.

Solopos.com, SRAGEN — Kebaikan manusia kerap diidentikkan dengan malaikat tanpa sayap. Ini terjadi di Desa Srawung RT 003/RW 002, Gesi, Sragen.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Meski hidup dalam kondisi pas-pasan, Sunardi, 55, merawat dua bocah di kampung itu meski tak ada hubungan darah.

Ekspedisi Mudik 2024

Rumput liar tumbuh subur di halaman rumah reyot di Dukuh/Desa Srawung RT 003/RW 002, Gesi, Sragen. Cahaya matahari masuk rumah lewat lubang kecil di sela-sela anyaman bambu.

Sepintas rumah berdinding gedek itu tampak rapat. Begitu masuk rumah, ternyata bagian belakang rumah itu terbuka. Hanya kain yang menjadi pintu penghubung dapur yang terbuka dan ruang utama.

Lantai rumah itu masih tanah hitam. Tak ada barang berharga di rumah itu, kecuali televisi berwarna berukuran 14 inchi. Di rumah itulah, Dilla Rosiyanti, 8, dan kakaknya, Betty, 16, tinggal.

Ayah mereka Suroso meninggal dunia lebih dari 1.000 hari lalu. Ibu mereka Titik sudah 1,5 bulan merantau ke Manado. Kini, mereka tinggal berdua dan ditemani seorang nenek-nenek yang tak memiliki hubungan kekeluargaan sama sekali.

Perempuan tua itu tidak lain adik Sunardi, tetangga dekat Dilla dan Betty. Dilla belajar di kelas II SDN 1 Srawung. Betty duduk di kelas X SMKN 1 Sragen. Mereka hidup sebatang kara. Untuk kebutuhan makan dan minum terpaksa harus menumpang ke rumah Sunardi, 55.

Kendati bukan siapa-siapa bagi mereka, Sunardi dianggap Dilla seperti kakeknya sendiri. Demikian pula, Sunardi pun menganggap mereka berdua seperti cucunya sendiri. Sunardi mengasuh mereka tanpa pamrih.

“Saya masih ingat, 1,5 bulan lalu Titik datang menemui saya. Dia bilang titip anak-anak. Hla, kamu mau kemana? Dia bilang pergi ke Manado mencari nafkah untuk biaya sekolah Betty. Apa tidak ada pekerjaan di sini? Ternyata tekad Titik kuat untuk meninggalkan anaknya dan meminta saya untuk menjaganya,” kata Sunardi saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (6/10/2016), di ruang tamu rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Titik.

Pintar di Sekolah

Sebenarnya Dillah dan Betty memiliki simbah di Ngarum Ngrampal dan di Gesi. Namun mereka tidak kerasan tinggal di rumah simbah dan memilih tinggal di rumahnya sendiri.

Saat makan, Dilla yang mengambil makanan di rumah Sunardi dalam porsi besar. Makanan itu bukan untuk Dilla sendiri tetapi berbagi dengan kakaknya. Betty sungkan bila terus meminta makan di rumah tetangga.

Betty dikenal sebagai anak yang pintar dan selalu rangking di sekolahnya. Gadis itu menjadi aktivis organisasi intra sekolah dan sering pulang menjelang Magrib.

Jarak rumah hingga sekolah mencapai 20 km. Dia memiliki dua teman satu sekolah yang tinggal di Srawung beda RT dan di Desa Tanggan. Kedua temannya itu yang selalu menjemput dan mengantar Betty berangkat dan pulang sekolah.

Dilla berangkat dan pergi sekolah jalan kaki. Sunardi harus selalu menyediakan uang receh untuk uang saku Dilla. Sebelum berangkat Dilla pun meminta uang saku kepada Sunardi seperti meminta kepada simbahnya.

Tas dan perlengkapan sekolah ditaruh di amben di ruang tamu rumah Sunardi. Setelah itu, Dilla bermain ke rumah temannya. Siang itu, Sunardi mencari-cari Dilla karena waktunya makan siang. Laki-laki itu mencari Dilla dengan telanjang dada.

Sesaat kemudian, dia menemukan Dilla dan mengajaknya pulang. Tanpa basa-basi Dilla pun masuk ke dapur. Begitu keluar, Dilla sudah membawa sepiring makan siang dengan lauk seadanya. Dia anak pemalu dan tidak mau berkomunikasi dengan orang yang baru dikenalnya, termasuk dengan Solopos.com.

“Kasihan anak itu [Dilla]. Saat ditinggal merantau ibunya, bocah itu menangis terus sepanjang malam. Saya dulu pernah ikut orang juga. Saya tidak mau nasib anak itu seperti saya. Saya perlakukan dia seperti cucu sendiri. Kebetulan ketiga anak saya juga merantau semua ke Kalimantan. Saya hanya ingin nandur kebecihan [menanam kebaikan],” ujarnya.

Selama beberapa pekan terakhir, Titik mengirim uang dua kali untuk Dilla dan Betty. Kiriman pertama senilai Rp300.000 dan kiriman kedua Rp500.000. Uang itu digunakan Betty untuk membayar biaya sekolah dan kebutuhan sekolah serta biaya sekolah Dilla.

Sunardi tak pernah meminta sepeser pun uang itu. “Sebenarnya Betty itu masih punya tanggungan uang gedung dan seragam Rp4,5 juta yang belum dibayar. Dulu ibunya sempat utang saya Rp700.000 untuk bayar uang itu. Sekarang sisanya ya masih Rp3 jutaan,” katanya.

Sunardi sering duduk sendirian di depan rumahnya untuk memikirkan nasib Titik yang tega meninggalkan kedua anaknya. Kewajiban arisan pun otomatis menjadi tanggungan Sunardi. Dia hanya bekerja menggarap sawah seadanya. Kendati hidup pas-pasan, Sunardi tak mau berpikir panjang. Ketika ada rezeki selalu dibagi dengan Dilla dan Betty.

Dilla sering menunjukkan hasil belajarnya kepada Sunardi. Saat ditanya tentang nama lengkapnya, Dilla pun menunjukkan tulisan dalam buku tulisnya. “Itu namanya ada di buku. Ya, baca sendiri. Yang menulis nama itu Mbak Betty,” kata Dilla.

Di buku itu tertulis Dilla Rosiyanti. Sunardi mengaku tak tahu nama lengkap Betty.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya