SOLOPOS.COM - Dua anak dari pasangan Sugianto dan Suminah yang mengalami kebutaan sejak lahir yaitu Meilika Auliya Pratiwi dan Nizam Hafiz Azaki, saat bermain di rumah mereka, Kamis (23/6/2016). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Kemiskinan Pacitan dialami keluarga Sugianto, tiga dari empat anggota keluarganya mengalami kebutaan.

Madiunpos.com, PACITAN —Tiga dari empat anggota di keluarga Sugianto mengalami kebutaan sejak lahir. Termasuk Sugianto, 40, yang menjadi tulang punggung di keluarga itu. Keluarga Sugianto merupakan salah satu sisi potret kemiskinan yang ada di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Promosi Gelar Festival Ramadan, PT Pegadaian Kanwil Jawa Barat Siapkan Panggung Emas

Keluarga itu bertempat tinggal di RT 002/RW 010, Dusun Sumber, Desa Ngadirejo, Kecamatan Pringkuku, Pacitan, sekitar 10 km dari pusat Kota Pacitan. Rumah sederhana yang memiliki luas 58 meter persegi menjadi tempat tinggal empat orang itu. Hanya ada satu kamar tidur dan ruang tamu dengan kursi sofa yang sudah bolong di mana-mana. Tempat tinggal mereka memiliki dinding separuh tembok dan separuh papan kayu.

Sugianto tinggal di rumah itu bersama dengan istrinya, Suminah, 34, beserta dua anaknya yaitu Meilika Auliya Pratiwi, 11 dan Nizam Hafiz Azaki, 21 bulan. Dari empat anggota keluarga itu, hanya Suminah yang memiliki kondisi normal dan tidak memiliki cacat pada mata. Dua anaknya divonis telah mengalami kebutaan sejak lahir.

Suminah menjadi satu-satunya orang di keluarga itu yang memiliki penglihatan normal, sehingga beberapa pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, hingga mencuci baju harus dirinya yang menyelesaikan. Pekerjaan tersebut tidak mungkin dibebankan kepada suaminya apalagi kepada kedua anaknya yang masih kecil. Meski demikian, anak pertamanya kerap membantu pekerjaan rumah dengan menjaga adiknya bermain.

Meski tidak bisa beraktivitas selayaknya suami pada umumnya, tetapi roda kehidupan keluarga itu sangat bergantung pada penghasilan Sugianto sebagai pemijat tunanetra. Terkadang, Suminah juga ikut membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh serabutan di tetangga yang membutuhkan tenaganya.

Kala Madiunpos.com berkunjung ke rumah keluarga kecil itu, Kamis (23/6/2016) sore, Suminah sedang menggendong si kecil Zaki di dapur dan menggoreng beberapa potong tempe untuk lauk berbuka puasa. Sedangkan Lika, panggilan anak pertama mereka, sedang membantu ibunya dengan membersihkan bawang putih dan brambang.

Anugerah

Bagi Suminah, kedua anaknya merupakan anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri, meski kedua anaknya memiliki kecacatan pada mata. Harapan terbesarnya, kedua anaknya bisa memiliki penglihatan normal kembali. Namun, dirinya tetap berkeinginan untuk melihat keduanya bisa bertahan dan menjadi orang yang berguna dan hidup lebih baik dari orang tuanya.

Sugianto bercerita kondisi perekonomian keluarganya memang tergolong memperihatinkan. Dirinya yang hanya membuka praktek pijat tunanetra tidak mesti mendapatkan konsumen setiap hari. Bahkan, dalam sepekan terakhir belum ada orang yang menggunakan jasanya. Padahal dapur harus tetap mengepul dan kedua anaknya harus tetap terpenuhi kebutuhan makan dan gizinya.

Dia mengatakan tidak mematok tarif untuk jasanya, namun biasanya pelanggan membayar mulai dari Rp25.000 hingga Rp50.000. Pelayanan tidak hanya di rumahnya, tetapi pelanggan bisa meminta Sugiono memijat di rumah pelanggan. Dengan syarat Sugiono harus dijemput dari rumah, karena Sugiono tidak bisa mengendarai dan tidak memiliki sepeda motor.

“Tidak tentu ada pelanggan, setiap bulan rata-rata ada 8 sampai 10 orang yang pijat di sini. Uang hasil dari itu langsung ludes untuk membeli berbagai kebutuhan pokok di warung,” kata dia.

Suminah kemudian menimpali sering kali dirinya harus berhutang di warung untuk beberapa kebutuhan pokok seperti beras, sayur, dan lauk. Biasanya, hutang-hutang itu akan dilunasi saat ada pelanggan yang pijat.

Dia mengaku rumahnya saat ini lebih layak huni dibandingkan kondisi rumahnya sebelum tahun 2009. Sebelum tahun itu, rumahnya sangat tidak layak huni dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Dia sering meminta koran bekas dari tetangga yang digunakan sebagai selimut saat cuaca sangat dingin.

“Kemudian pada tahun 2009, ada bantuan bedah rumah dari TNI, saat itu lah, hidup kami lebih nyaman. Saat tidur tidak kedinginan,” ujar dia sambil menyeka air mata yang keluar dari kedua matanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya