SOLOPOS.COM - Dua orang pekerja sedang membersihkan belalang-belalang hidup sebelum digoreng. Penganan belalang goreng merupakan salah satu produk unggulan di Kabupaten Gunungkidul. Jumat (1/8/2014). (David Kurniawan/JIBI/Harian Jogja)

Kemiskinan Gunungkidul akan terus melekat jika metodologi penghitungan tidak diubah

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL– Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Immawan Wahyudi menyambut baik turunnya keluarga pra-sejahtera di Gunungkidul. Hal ini sebagai bukti keberhasilan program yang digulirkan oleh pemerintah atau pun daerah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun demikian, ia tetap mengkritisi terhadap metode dalam pendataan. Pasalnya dengan metode yang ada saat ini tidak akan mengubah posisi Gunungkidul terhadap tingkat kemiskinan.

Immawan menilai indikator dalam pengumpulan data tidak tersaji secara menyeluruh. Banyak faktor-faktor yang positif yang dimiliki tidak terekam, karena lebih banyak faktor negative yang masuk menjadi indikator dalam penilaian.

Dia mencontohkan, selama ini data hasil panen pertanian di Gunungkidul tidak pernah masuk hitungan. Padahal secara komulatif panen yang dihasilkan menjadi penyumbang terbesar kedua pasokan pangan di DIY.

“Kita cuma kalah dengan Sleman. Tapi faktanya itu tidak berpengaruh sehingga posisi Gunungkidul terus menjadi daerah termiskin di DIY,” kata Immawan kepada Harianjogja.com, Rabu (10/8/2016).

Immawan menilai, banyak sekali stigma negatif yang masih melekat di Gunungkidul. Meski sudah banyak perubahan, namun tetap saja hal ini tidak bisa dihilangkan sehingga kesan miskin masih terus saja membayang-bayangi.

“Contohnya banyak, misalnya Gunungkidul dikenal dengan daerah kering atau lama pendidikan yang masih sangat rendah,” katanya.

Bersambung halaman 2


Kondisi inilah salah satu faktor yang membuat wilayah Gunungkidul tak beranjak dari predikat termiskin. Padahal jika dilihat dari perkembangan, stigma negatif ini sudah jauh berkurang.

Dia pun berharap agar metodologi dalam pendataan harus diperbarui dan disesuaikan dengan karakteristik yang ada. jangan sampai, metode yang digunakan disamaratakan karena hasilnya tidak akan akurat. Immawan menilai, metodologi yang digunakan merupakan model penghitungan di wilayah perkotaan, sementara wilayah di Bumi Handayani didominasi daerah pedesaan.

“Ya kalau seperti ini jelas tidak akan ketemu dan Gunungkidul tetap akan menjadi daerah termiskin karena ukurannya hanya berdasar pada kebijakan moneter dan basis konsumsi pangan,” turu dia.

Selain memberikan kritik terhadap metodologi dalam pengumpulan data, Immawan juga meminta agar pemkab hingga satuan pemerintahan di bawahnya dilibatkan dalam pendataan.

Hal ini dianggap penting karena pemerintahan terbawahlah (pemerintah desa) yang paling mengerti dan mengetahui kondisi masyarakat yang sebenarnya.

“Kami sudah menyiapkan formulasi untuk validasi dan verifikasi terhadap data Pemutakhiran Basis Data Terpadu 2015. Harapannya wacana partisipasi desa dalam proses pemutakhiran bisa disetujui pusat sehingga data yang dimiliki bisa dilakukan update secara berkala sehingga datanya bisa lebih akurat,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Bidang Pemerintahan Sosial dan Budaya, Bappeda Gunungkidul Priyanta Madya Satmaka mengatakan, jumlah keluarga prasejahtera di Gunungkidul berkurang. Hal ini terlihat dari hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu 2015, di mana jumlahnya mencapai 97.217 Kepala Keluarga, sedangkan saat proses pendataan perlindungan sosial (PPLS) 2011 terdapat  99.277 KK rawan miskin.

“Data ini berasal dari pusat, sehingga kami tidak tahu persis penentuan kriteria tersebut seperti apa, karena hasil pendataan munculnya seperti itu,” kata Priyanta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya