Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (10/9/2019). Esai ini karya Labud Nahnu Najib, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhamamdiyah Ponorogo, Jawa Timur. Alamat e-mail penulis adalah labud.najib@yahoo.com.
Solopos.com, SOLO — Mari kita turunkan tensi dan tinggikan kemauan mengapresiasi disertasi berjudul Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital karya Abdul Aziz yang dipertahankan dalam ujian di program doktor Studi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada
Di dalam abstrak Abdul Aziz menekankan konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur dapat dijadikan justifikasi untuk keabsahan hubungan seksual nonmarital. Berdasarkan permasalahan pokok ini, kemudian dirumuskan lima permasalahan minor.
Mengapa Muhammad Syahrur menggagas konsep milk al-yamin baru? Bagaimana hermeneutika hukum yang ia gunakan? Bagaimana ekstensitas hubungan seksual nonmarital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur? Bagaimana implikasi konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur terhadap perbudakan, delik perzinaan, perkawinan poligini, dan hukum kelarga Islam?
Menurut Abdul Aziz, munculnya gagasan milk al-yamin Muhammad Syahrur dilatarbelakangi pemahaman milk al-yamin adalah budak perempuan (ar-riq) di kalangan tradisionalis. Realitasnya, sistem perbudakan telah terhapus oleh sejarah.
Muhammad Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika hukum dari aspek filologi (fiqh-lughah) dengan prinsip antisinonimitas istilah ketika menginterpretasi konsep milk al-yamin dalam Alquran. Hasilnya milk al-yamin tidak lagi berarti budak melainkan partner hubungan seksual nonmarital.
Ekstensitas keabsahan hubungan seksual nonmarital dalam konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur meliputi nikah al-mut’ah, nikah al-muhalil, nikah al-urf, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, al-musakanah (samen leven), dan atau akad ihsan.
Sikap Reaksioner
Limitasi hubungan seksual nonmarital menurut konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur adalah nikah al-maharim, nikah al-mutazawwijah, az-zina, as-sifah, al-akhdan, dan nikah ma nakaha al-aba.
Implikasi konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur terhadap hukum Islam adalah meniscayakan delegalisasi perbudakan, dekriminalisasi delik perzinaan, depresi perkawinan poligini, dan dekonstruksi hukum keluarga Islam.
Melihat perkembangan pro dan kontra yang tersaji di media sosial hingga media televisi, bahkan di forum-forum pengajian yang mencibir, dan sinisme terhadap buah disertasi akademis di atas, satu hal yang justru tak sesuai harapan adalah matinya antitesis dan berkembang biaknya sikap reaksioner.
Kondisi emosional terkait keberagaman dalam hal wacana dan khazanah keilmuan saat ini mengingatkan kita pada kemacetan dialektika akademis. Orang berbondong-bondong mengambil posisi sebagai hakim tanpa instalasi modal kebebasan akademis.
Dulu Ulil Abshar Abdalla mengalami nasib yang sama ketika merilis Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam (Nalar, 2007). Pada halaman 72-73 Ulil menyampaikan pendapat pribadi bahwa ”…Islam, sebagaimana Indonesia, adalah juga sebuah proyek, sebuah proses yang tak pernah selesai. Islam dalam kitab suci adalah Islam blue print yang harus diterjemahkan, didialogkan, diperhadapkan, dan dikonfrontasikan dengan kenyataan sosial dan sejarah manusia yang konkret.”
Terlepas dari pro dan kontra yang akan saling bersahutan harus mengemuka pemahaman bahwa di dalam tradisis keilmuan menyaratkan kejadian yang tidak mesti seragam dan sejalan.
Ada sebuah kisah singkat yang menurut hemat saya dapat menjadi nasihat untuk kita semua. Kisah ini saya baca dalam Filosof juga Manusia karya Fahruddin Faiz, seorang dosen di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sekaligus pengasuh Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta.
Pelajaran Socrates
Suatu hari Socrates melihat seorang lelaki dengan wajah penuh amarah. Socrates bertanya tentang penyebab lelaki itu marah. Lelaki tersebut menjawab, “Ketika di tengah perjalanan, saya menjumpai salah seorang kawan. Saya mengucapkan salam kepadanya tetapi ia tidak menjawab, bahkan dengan angkuh ia pergi begitu saja tanpa peduli sama sekali. Hal inilah yang membuat saya marah.”
Socrates kembali bertanya,”Mengapa Anda mesti bersedih?” Lelaki tadi menjawab dengan heran,”Ya, jelas dong, tingkah kawan seperti itu tentu menyakitkan.” Socrates kembali bertanya,”Jika di tengah perjalanan Anda melihat seseorang yang jatuh, akhirnya terluka, dan kemudian ia merasa kesakitan karena lukanya, apakah badan Anda juga ikut sakit dengan melihat kejadian itu?”
Lelaki tersebut menjawab.”Jelas tidaklah, saya tidak akan merasakan sakit sebagaimana orang yang jatuh tersebut yang merintih kesakitan karena lukanya.” Socrates bertanya lagi,”Lalu, bagaimana perasaanmu melihat orang tersebut dan tindakan apa yang akan kamu lakukan?”
Lelaki tadi menjawab, “Saya merasa sedih dan saya akan membawanya kepada seorang tabib atau memberi obat.” Kemudian Socrates berkata,”Anda tahu mengapa Anda melakukan hal tersebut? Karena Anda melihat orang tersebut sebagai orang sakit. Nah, apakah manusia hanya badannya yang sakit? Dan, bukankah seorang yang perbuatannya tidak benar menunjukkan bahwa jiwanya sakit?”
”Jika pikiran dan jiwa seseorang itu sehat, apa mungkin akan melakukan perbuatan yang buruk? Sakit pikiran dan jiwa namanya adalah ‘kelalaian’. Seharusnya kita tak perlu sakit hati kepadanya, namun yang mesti kita lakukan adalah menolongnya dan membawanya kepada tabib rohanni,” kata Socrates.
Socrates berpesan jangan pernah sakit hati kepada orang yang jiwa dan pikirannya sakit. Jangan pernah kehilangan kesadaran dan ketenangan jiwa. Siapa saja yang sakit hati kepada orang yang jiwa dan pikirannya sakit, pada saat itu ia pun tergolong sakit. Mari berobat menjadi sehat dan segar kembali.