SOLOPOS.COM - Seorang petani di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Sragen, mengambil air dari saluran irigasi. Petani di kecamatan ini makin khawatir ketika musim kemarau tiba karena terbatasnya pasokan air mengancam kondisi sawah mereka. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Seorang petani di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Sragen, mengambil air dari saluran irigasi. Petani di kecamatan ini makin khawatir ketika musim kemarau tiba karena terbatasnya pasokan air mengancam kondisi sawah mereka. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Seorang petani di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Sragen, mengambil air dari saluran irigasi. Petani di kecamatan ini makin khawatir ketika musim kemarau tiba karena terbatasnya pasokan air mengancam kondisi sawah mereka. (JIBI/SOLOPOS/dok)

SRAGEN – Puluhan hektare tanaman padi di Kecamatan Kalijambe mulai mengering. Jika sepekan lagi tak juga turun hujan, para petani di kecamatan tersebut terancam gagal panen. Pasalnya, para petani di desa-desa seperti Ngebung, Krikilan dan Bukuran, Kalijambe kesulitan mencari pasokan air untuk mengairi tanaman padi mereka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu petani di Kecamatan Kalijambe, Sriyatun, mengatakan jika sepekan mendatang tak juga turun hujan, ia dipastikan bakal merugi. Pasalnya ia tak bisa memanen tanaman padinya karena kekurangan air. Padahal saat ini tanaman padi miliknya dan beberapa petani lainnya sudah hampir menguning. “Sebulan lagi sebenarnya bisa panen. Ini pohonnya sudah mulai mengering. Kalau enggak ada hujan ya kami sudah pasti rugi,” ucapnya.

Tak hanya padi, hujan yang tak jua turun sejak setengah bulan lalu juga mematikan beberapa tananam kacang di area persawahan Desa Bukuran. Tanaman-tanaman kacang terlihat kering dan hampir mati dengan daun-daun yang hampir semuanya menguning.

Pamong Tani Desa (PTD) Bukuran, Sapardi, kerugian yang bakal dialami petani jika tak juga turun hujan diperkirakan sekitar Rp5 juta per hektar. Nilai sejumlah itu dihitung dari beberapa pengeluaran sejak pertama menanam padi mulai dari membayar upah para pekerja, membeli bibit tanaman, pupuk dan pestisida.

Lebih lanjut, Sapardi, menjelaskan area persawahan di kawasan Kalijambe terutama Bukuran, mayoritas merupakan daerah tadah hujan. Jika kemarau tiba, petani gagal panen karena tak memiliki pasokan air untuk mengairi sawah. “Jangankan sawah, untuk mandi dan keperluan sehari-hari saja belum semua warga terpenuhi,” tukasnya.

Jika musim tanam gagal, petani di daerah-daerah tadah hujan itu biasanya memang tak punya pilihan selain beralih profesi. Biasanya beralih ke kuli bangunan atau buruh lain. Pasalnya, menurut Sapardi jika kemarau melanda, area persawahan memang tak bisa ditanami lagi, baik padi, palawija maupun umbi-umbian.

Sapardi menambahkan dalam setahun, normalnya para petani di Desa Bukuran hanya sekali memanen padi, yaitu saat musim hujan sekitar awal tahun. Jika beruntung, yaitu musim hujan lebih panjang dari pada kemarau, mereka bisa memanen hingga dua kali yaitu pada Januari dan Juni. Sementara, pada musim tanam ketiga sekitar bulan Juli, mereka lebih banyak pasrah karena memang sama sekali tak ada hujan. “Sebenarnya area persawhan di daerah Kalijambe enggak cocok untuk menanam padi terus. Tapi hla gimana lagi, petani bisanya hanya di situ. Menanam lainnya enggak mahir,” ucapnya pasrah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya