SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, BOYOLALI — Para petani di Boyolali harus bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pasokan air irigasi yang terbatas pada musim kemarau ini.

Hal itu kerap menimbulkan gesekan antarpetani. Tak sedikit petani yang akhirnya menyabotasi aliran air ke sawah petani lainnya. Bahkan bersitegang, saling sikut hingga adu fisik menjadi hal yang lumrah terjadii.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Salah satunya di Desa Sembungan, Nogosari, Boyolali. Petani di desa ini harus berebut air irigasi yang berasal dari Waduk Cengklik.

“Sumur pantek airnya tinggal sedikit sekali, kalau disedot sudah tidak bisa,” ujar salah satu petani di Dukuh Sembungan, Suroso, 63, kepada Solopos.com, Kamis (22/8/2019).

Menurut dia, saat ini ada pengairan dari Waduk Cengklik, jadi semua petani berebut ingin mendapat bagian. Padahal kontur saluran air di Sembungan agak naik sehingga air sulit sampai ke Sembungan sebelah timur jembatan yang posisinya lebih tinggi.

“Petani di sisi timur jembatan meminta petani bagian barat jembatan untuk mematikan diesel supaya air bisa mengalir ke timur jembatan. Tapi petani di barat jembatan tidak mau karena sama-sama dapat jatah pengairan. Mati satu, mati semua, hidup satu, hidup semua,” imbuh Suroso.

Ia mengatakan sudah memasang pompa air sejak bulan Maret lalu. Pompa air itu bertahan sampai empat jam pemakaian. Air dari Waduk Cengklik alirannya sangat kecil sehingga tidak bisa diandalkan.

“Sebenarnya saya belum waktunya panen kacang, tapi mumpung ada air, jadi saya panen sekarang. Namun belum semua lahan tersiram, air sudah tidak sampai sini,” kata dia.

Hal senada dikatakan warga Desa Sukorame, Kecamatan Musuk, Mento Sukimin. Ia mengatakan banyak petani di Desa Sukorame berebut air irigasi dari embung.

“Berkelahi karena rebutan air itu sudah biasa bagi petani. Kadang ada petani yang nakal, saat ada aliran irigasi sawah saya alirannya ditutup. Tujuannya agar aliran air untuk tanah tegalan mereka lancar,” kata Mento.

Ia menambahkan banyak tanaman yang layu akibat musim kemarau ini. Musim kemarau dirasakan warga Kecamatan Musuk sejak Februari akhir lalu.

“Sudah sejak lima bulan yang lalu keadaannya seperti ini. Pada September mendatang musim kemarau berakhir. Saya perkirakan hujan akan mulai turun pada Oktober. Namun itu hanya sebatas hitungan cara jawa,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya