SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SUKOHARJO — Dinas Pertanian dan Perikanan Sukoharjo meminta petani bersiap menghadapi kemarau tahun ini yang diprediksi panjang dan kering. Puncak kemarau terjadi Agustus mendatang.

Kondisi ini memicu risiko puso atau gagal panen apabila petani di wilayah tadah hujan tetap nekat menanam padi. Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Sukoharjo, Netty Harjiyanti, mengatakan musim kemarau tahun ini kering dan diperkirakan akan lebih panjang dibanding tahun sebelumnya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Terpantau sejak memasuki musim kemarau pada Mei lalu, curah hujan langsung berkurang. Perkiraan puncak kemarau terjadi pada Agustus nanti. Selain itu curah hujan rendah juga diprediksikan hingga Januari 2020.

“Sejak Mei sudah tidak ada hujan. Berbeda dengan tahun lalu yang memang kemarau basah,” tuturnya, Minggu (30/6/2019).

Kondisi ini, menurut dia, akan berdampak pada lahan pertanian secara menyeluruh. Lahan dengan irigasi teknis masih memungkinkan tanam untuk masa tanam (MT) II tahun ini. Lahan tersebut tergantung dengan ketersediaan pasokan air dari Dam Colo maupun Sungai Bengawan Solo, serta sumur-sumur artesis yang masih mengeluarkan air.

Sementara lahan tadah hujan hanya mengandalkan curah hujan sehingga dipastikan tidak bisa digarap dan terpaksa diberakan. “Kondisi sawah saat ini saja sudah nela-nela [kering hingga reta]. Jadi jelas tidak bisa ditanami padi,” kata Netty.

Netty meminta penyuluh lapangan pertanian secara rutin memberikan informasi prakiraan cuaca tiga bulanan. Tujuannya agar petani bisa memperkirakan risiko sebelum memutuskan menanam.

Dalam tiga bulan ke depan, lahan irigasi teknis dinilai masih cukup aman karena pasokan air terpantau masih terpenuhi dari sungai maupun bendungan. Merujuk data hingga kini jumlah luas lahan pertanian di Sukoharjo yang mengalami puso atau gagal panen selama musim kemarau ada 1.193 hektare dengan total kerugian mencapai miliaran rupiah.

Salah satu petani di Karangwuni, Kastubi, mengatakan hampir sebagian besar petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudi Sari tempatnya bernaung mengalami puso.

“Ada 56 petani dengan total luas tanah 23 hektare yang sebagain besar sudah puso. Kalaupun ada yang panen mereka tambah biaya beli air sendiri,” terangnya.

Sedangkan petani yang tidak mampu membeli air akan membiarkan tanaman padi mereka mengering. Kemudian tanaman tersebut dibabat untuk dijadikan pakan ternak.

Sebagian petani, menurutnya, nekat menanam padi dengan harapan masih ada hujan sampai bulan ini. Namun tak ada hujan dan justru mulai memasuki musim kemarau.

“Petani rugi berkisar Rp3 juta per petak. Sekarang banyak petani yang menanam tanaman seperti bawang merah bantuan bibit dari Dinas Pertanian,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya