SOLOPOS.COM - Spanduk imbauan tak merokok di masa pandemi Covid-19 di depan Kantor kelurahan Banyuanyar, Banjarsari, Solo. Foto diambil pada Selasa (23/6/2020). (Solopos-Adib Muttaqin Asfar)

Solopos.com, SOLO -- Pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir di Indonesia tak serta merta membuat kebiasaan para perokok berhenti. Sebelumnya, sejumlah publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan perokok lebih rentan mengalami gejala Covid-19 yang lebih parah.

“Bukti-bukti menunjukkan merokok terkait meningkatnya keparahan penyakit dan kematian pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit,” demikian bunyi pernyataan yang dirilis WHO melalui laman resmi, 26 Mei 2020 lalu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pernyataan WHO tersebut berdasarkan temuan dalam 19 studi yang melibatkan ribuan pasien di China. WHO mengakui itu masih berupa temuan awal dan masih membutuhkan studi lanjutan. Namun, kesimpulan awal itu memperkuat hipotesis serupa yang pernah dilansir oleh WHO.

Lingkungan Tak Steril, Anak-Anak Solo Rentan Terpapar Covid-19

Di kalangan sebagian perokok, publikasi WHO tersebut cukup memengaruhi sikap mereka dalam merokok, meski tidak seluruhnya. Ini terutama dalam hal konsumsi rokok atau berapa uang yang dihabiskan perokok untuk membeli rokok setiap bulan selama pandemi Covid-19.

“Ya tetap merokok, tapi ada kekhawatiran sedikit-sedikit,” kata Santoso, laki-laki 42 tahun yang bekerja di sebuah kantor lembaga pemerintahan di Kota Solo, saat dihubungi Solopos.com, Selasa (23/6/2020).

Santoso mengakui selama pandemi Covid-19, konsumsi rokoknya menurun hampir setengah dari konsumsinya di waktu normal. Jika sebelum wabah melanda dia bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari, maka setelah pandemi dia mengaku hanya menghabiskan rata-rata satu bungkus.

Anak Usia 12 Tahun Asal Kestalan Solo Positif Covid-19

Dia juga mengakui penurunan konsumsi rokok itu juga tak semata disebabkan banyaknya publikasi tentang risiko perokok terpapar Covid-19. Penurunan itu, kata dia, juga disebabkan harga rokok yang melonjak sejak awal tahun ini akibat kenaikan cukai tembakau. Sementara pendapatannya relatif tidak berubah.

“Dulu dalam satu bulan bisa habis Rp400.000 – Rp500.000 buat rokok, sekarang bisa setengahnya. Itu pun ganti merek rokok [yang lebih murah],” kata dia sambil menunjukkan perbandingan harga dua produk rokok.

Dengan pengeluaran yang mencapai Rp500.000 per bulan, anggaran pribadinya untuk membeli rokok bisa mencapai lebih dari seperempat gaji bulanannya. Saat ini gaji yang dia peroleh setiap bulan kurang lebih Rp1,9 juta.

3 Bulan Positif Covid-19, Pasien Ponorogo Baru Sembuh Setelah 22 Kali Swab

Keluarga Perokok

Dalam sebuah diskusi daring bertajuk Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Masa Pandemi, Jumat (5/6/2020) lalu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Solo (DKKS), Siti Wahyuningsih mengungkapkan kekhawatirannya. Di Solo sebelum wabah Covid-19 melanda, jumlah keluarga perokok mencapai lebih dari 40% dari total jumlah keluarga.

Sebenarnya persentase keluarga perokok di Solo cenderung turun dari tahun ke tahun. Meski demikian, penurunan persentase jumlah keluarga merokok tersebut masih hanya sedikit alias stagnan.

Membeludak! 36.317 Pendaftar Pakai Jalur SKD di PPDB Jateng

Pada 2019, DKKS mencatat keluarga tidak merokok di Solo sebanyak 56,70% dan keluarga merokok 43,30%. Angka ini tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya pada 2016 persentase keluarga tak merokok sebesar 54,03% dan keluarga merokok 45,97%. Begitu pula pada 2015, di mana angka keluarga tak merokok sebesar 55,02% dan keluarga merokok 44,80%.

“Persentase keluarga merokok semakin kecil, sebagian besar [keluarga] tidak merokok. Tapi harus dilihat juga anggota keluarga di dalam rumah tersebut,” kata Siti dalam diskusi itu. Karena jumlah anggota keluarga berbeda-beda, maka persentase tersebut tidak menjamin jumlah orang yang merokok lebih sedikit daripada orang yang merokok.

2 Pasien Positif Covid-19 Kota Madiun Sembuh, Tinggal 1 Kasus

Selain itu, kata Siti, ketika dalam sebuah keluarga ada perokok, maka anggota keluarga yang lain juga otomatis menjadi perokok pasif. Meski dalam keluarga tersebut hanya ada satu perokok, dampak langsung akibat asap juga dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.

“Mereka jadi perokok pasif. Jadilah mereka juga berisiko terpapar penyakit pernapasan,” ujar Siti. Dengan demikian para perokok pasif ini juga rentan di masa pandemi Covid-19.

Stunting dan Covid-19

Namun, masalahnya tak berhenti di situ. Dampak penyakit pernapasan juga bisa melebar ke persoalan kesehatan lainnya, terutama bagi keluarga yang memiliki anak dalam tahap pertumbuhan.

Suram! 6,4 Juta Karyawan Indonesia Di-PHK karena Covid-19

“Penyakit pernapasan itu juga berdampak pada kondisi kurang gizi. Tahu sendiri, anak-anak yang sering sakit-sakitan akan terhambat pertumbuhannya,” terang Siti kepada Solopos.com di kantornya, Rabu (10/6/2020) lalu.



Anak yang kurang gizi, kata Siti, akan mudah terpapar virus dan penyakit, setidaknya menjadi sering mengalami gejala flu seperti batuk dan pilek. Karena kerap mengalami batuk dan pilek, seorang anak bisa mengalami kekurangan nutrisi seiring kerap menurunnya nafsu makan.

“Itu pengaruhnya ke stunting. Selain itu, ibu hamil yang terkena asap rokok, janin juga akan terpengaruh. Berat badan bayi yang lahir menjadi rendah,” jelas Siti.

Tersangka Korupsi Jiwasraya, MNC Asset Management Buka Suara

Data 2018 menunjukkan jumlah anak berusia di bawah dua tahun (baduta) yang mengalami stunting sebanyak 358 anak. Angka ini sedikit menurun dibandingkan 2017 yang mencapai 483 anak. Itu baru angka yang dilaporkan oleh 17 puskesmas di Solo.

Anak-anak inilah, kata Siti, merupakan kelompok yang rentan, khususnya menghadapi wabah Covid-19. Apalagi Covid-19 diketahui selalu menyerang saluran pernapasan dan anak-anak yang telah memiliki bawaan penyakit pernapasan akan lebih berisiko, termasuk perokok anak yang jumlahnya diprediksi terus meningkat.

Di samping anak-anak yang terpapar asap rokok di rumah, munculnya perokok anak juga menjadi sorotan. Direktur Yayasan Kakak Solo, Shoim Sahriyati, mengkritik respons Pemerintah Kota Solo terkait fenomena ini.

Pendaftar PPDB SMA/SMK Jateng Hampir 600.000, Diduga Banyak Akun Ganda

“Pada 2019, jumlah perokok anak naik menjadi 9,1%. Padahal dalam RPJMD [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Solo 2016-2021], targetnya bisa turun menjadi 5,4%. Ini kegagalan negara menekan angka perokok anak,” kata Shoim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya