SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (4/6/2019). Esai ini karya Steve Pillar Setiabudi, pembuat film yang berkeluarga dan tinggal di Kota Solo. Alamat e-mail penulis adalah stevepillarsetiabudi@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu diputar dua film dokumenter. Masing-masing bercerita tentang kekuatan hubungan antaranggota keluarga. Film Life Like Flower karya Beto Maharsidiq dari Bandung bercerita tentang seorang remaja perempuan yang harus mengurus ibunya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Digambarkan dalam film betapa menderitanya keluarga tersebut. Si anak perempuan berjuang seorang diri merawat ibu yang mengidap kanker. Dia harus meninggalkan sekolah berbulan-bulan, menempuh perjalanan yang melelahkan dan berbiaya mahal dari Garut tempat tinggalnya untuk selalu hadir di samping ibunya yang sedang dirawat di Bandung.

Tidak tampak terlihat anggota keluarga lain ikut menemani walaupun ada bagian-bagian di film menggambarkan keluarga lengkap mereka, sepasang orang tua dengan tiga orang anak. Tidak begitu jelas diceritakan bagaimana mereka bisa sampai pada situasi demikian menyedihkan, tetapi penonton dapat menyimpulkan bahwa keluarga ini tidak lagi utuh.

Ekspedisi Mudik 2024

Film ini hanya meresonansi penderitaan ibu dan anak tersebut sampai penonton berempati, tanpa detail dan kedalaman. Film kedua, tidak kalah menarik, Swara Kalbu karya Lita Andriyani dari Solo. Film ini bercerita tentang seorang ibu yang sangat mandiri dan gemar berkesenian, klenengan khususnya, namun kegemaran tersebut justru ditentang oleh sebagian besar anak-anaknya.

Keseharian si ibu diisi dengan memproduksi kerupuk sebagai kegiatan ekonomi utama, lalu menyanyi tembang Jawa (klenengan) pada sisa hari. Ada kalanya si ibu mendapatkan uang tambahan dari hasil tampil dalam sebuah acara. Si ibu tampak cukup bahagia dengan hari-harinya.

Dia bersemangat dan fit pada usia yang senja, terlihat dari gerak dan kemampuan bersepeda motor. Dari sinilah persoalan keluarga tersebut muncul. Anak-anaknya justru tidak bahagia dengan keadaan tersebut. Mereka khawatir akan kesehatan ibu mereka yang sering latihan maupun tampil di pertunjukan pada malam hari.

Imajinasi Massal tentang Kematian

Dengan menjanjikan ”gaji” mingguan untuk si ibu, salah seorang anak merayu agar si ibu berhenti melakukan hobinya. Ada bagian yang lebih menarik perhatian saya, yaitu ketika salah seorang anak menyarankan si ibu lebih mengikuti pengajian daripada klenengan. Rupanya kredo ”jika bisa melewati masa muda, maka sisa hidup adalah masa persiapan untuk kehidupan selanjutnya” masih sangat kuat di keluarga tersebut.

Saya juga yakin ini ada di benak kebanyakan rakyat Indonesia sehingga orang akan lebih takut pada imajinasi massal tentang setelah kematian daripada realitas yang sedang dijalani. Kebahagiaan orang lain tidak lagi penting untuk dipertimbangkan, bahkan dicapai, hanya ketakutan akan siksa neraka dan tidak lolos ambang batas masuk surga yang menghantui.

Dalam aksi turunan seperti tergambar di film, tidak ada lagi dukungan untuk membantu mewujudkan kebahagian orang lain, bahkan untuk orang terkasih. Paradoks ini sering saya temui akhir-akhir ini. Film apa pun bentuknya adalah cerminan realitas. Saya jadi khawatir tafsir tentang kebahagiaan yang sekarang dipercaya lebih dominan dipenuhi imajinasi kosong daripada berdasar pada materi empiris di indra perasa.

Saya tidak sedang membandingkan mana yang lebih baik, pengajian atau berkesenian. Yang saya lihat adalah si ibu bahagia dengan kegiatan yang dia jalani. Kekhawatiran saya adalah ihwal makin menguatnya intervensi di ruang-ruang pribadi dengan tujuan penyeragaman, alih-alih membantu memperlebar ruang-ruang privat ini untuk pengalaman spiritual yang autentik dan setara untuk semua. Keluarga menjadi jalan untuk tujuan tersebut.

Disfungsi Keluarga

Di dua film ini saya bisa melihat replika Indonesia dalam skala dan narasi kecil di kehidupan keluarga yang ditampilkan. Dua film tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana interaksi sosial dan tantangan yang persis seperti cermin situasi Indonesia sebagai keluarga besar segala suku, agama, ras, dan golongan.

Walaupun tidak saling mengenal, mungkin juga tidak pernah berjumpa, dan berbeda suku, agama, bahkan ras, aku adalah saudaramu di negara-bangsa Indonesia. Kisah Usman, Abdul Rajab, Ismail, dan Anton Budi adalah bukti bahwa keluarga besar bangsa Indonesia ada.

Secepat kilat ribuan orang terdorong membantu meringankan beban atas kemalangan yang baru menimpa mereka dari sebuah peristiwa yang ramai belakangan ini. Menurut Yongey Mingyur Rinpoche, seorang biksu pengajar meditasi populer di jagat maya, manusia terlahir menderita.

Rasa tidak puas atau tidak nyaman diartikan sebagai penderitaan sehingga seumur hidup manusia selalu mencari cara untuk mengatasi. Sebagai individu, merasa tidak nyaman, hidup dalam kesepian, dan tidak merasa puas berkarya tanpa berbagi dapat menjadi alasan untuk membangun sebuah keluarga, demi mengatasi penderitaan.

Negara adalah Bentuk Formal Fungsi Keluarga

Dalam keluarga besar bangsa, kita terlahir dalam riuh. Paling tidak, satu penderitaan seharusnya teratasi. Sebagai sistem, secara makro negara adalah bentuk formal operasional hadirnya fungsi keluarga. Minimal negara melayani kebutuhan rakyat (anggota keluarga), syukur membantu rakyat menemukan kebahagiaan.

Di film Life Like Flower walau tidak terlalu jelas bagaimana keluarga di film tersebut membiayai pengobatan kanker yang mahal, saya menduga negara hadir dalam bentuk layanan kesehatan seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Di film Swara Kalbu tidak semua rakyat dapat menemukan kebahagiaan mereka sendiri. Beberapa anggota keluarga harus mengusik kebahagiaan orang lain demi cita-citanya sendiri. Ini adalah bukti krisis toleransi dan kepercayaan diri memang sedang melanda negeri ini.

Bisa jadi, kita sedang mengalami disfungsi keluarga. Sebagai analogi, jika elite politik adalah orang tua dan mereka tidak akur, rakyat/anak-anak akan menerima dampaknya. Tidak salah kita menginginkan keluarga yang utuh, bahagia, tumbuh berkarya bersama, membantu sesama dalam harmoni.

Harus disadari ini adalah cita-cita kita bersama, bukan hanya visi keluarga Cemara, keluarga Cendana, keluarga Cikeas, maupun keluarga-keluarga lain dengan cita-cita kecil lainnya. Saya berharap kita semua bekerja memulihkan keluarga besar kita ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya