SOLOPOS.COM - Kelompok seniman teater tari Sahita dalam pertunjukan di Sura Bulan Budaya 2015, Rabu (14/10/2015). (Kharisma Dhita Retnosari/JIBI/Solopos)

Kelompok kesenian Sahita menyuarakan pesan untuk menyelamatkan Sriwedari dengan gaya khas mereka.

Solopos.com, SOLO-Alunan saron kecil yang ditabuh sekelompok seniman teater tari Sahita, menggema dari depan pintu masuk Museum Radya Pustaka, Solo, Rabu (14/10/2015). Saron adalah salah satu instrumen gamelan dari kayu dengan sejumlah panel logam penghasil nada yang ditabuh menggunakan alat serupa palu yang juga berbahan kayu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sambil berkelakar dengan gaya khas konyolnya, Tintung Sahita berujar saron mini tersebut baru saja dibelinya dari salah seorang pedagang di kawasan Sriwedari, Solo.

“Sesuk ameh takpateni kuwi, hak pakai kuwi lho. Ora masalah ono sing duwe duit. Duit kuasa nyulap kahanan. Ning nek duite kuwi entuke soko ngecepi keringete tanggane, kuwi jenenge…” serunya sambil memegangi saron mini yang baru saja dimainkannya tersebut.
Alur bergulir. Berawal dari teatrikal rewangan hingga nyanyian tembang Tolak Balak.

Berlenggak lenggok dalam gerakan tari sederhana, tembang Tolak Balak mereka nyanyikan sambil terus menari dengan gerakan ke kanan, kiri, depan dan belakang.

“Tolak balak, ana kala saka tengen. Tinulak bali nengen..Tinulak bali ngiwo. Tolak balak iman, slamet, rahayu, widodo.. Tolak balak, ana kala saka jaba, tinulak bali jaba. Tolak balak iman, slamet, teguh, rahayu, widodo… sik lha kok tangga-tanggane sak desa digawa kabeh?”

Tak pelak, tawa dan tepukan tangan seluruh pengunjung yang menyaksikan menjadi satu dalam saat menyaksikan aksi teatrikal mereka. Hari itu, Rabu di pelataran museum Radya Pustaka, Solo, sejumlah seniman berkumpul memeriahkan hari pertama Sura Bulan Kebudayaan 2015. Siang itu, puluhan seniman dan warga masyarakat Kota Solo tampak memadati sekitaran museum.

Siang tersebut, pertunjukan teater tari seniman Kota Solo, Sahita, menjadi spesial dengan sisipan sentilan save Sriwedari-nya. Sejumlah banyolan simbolis penyampaian pesan save Sriwedari disisipkan secara khas dan natural dengan aneka plesetan lucu mereka dalam potongan tembang Pathetan, Asmaradana, Pocung dan Tolak Balak yang dinyanyikan secara medley dan akapela.

“Ini sekaligus bentuk empati kami sebagai seniman Kota Solo. Sriwedari bisa dibilang sudah jadi bagian dari sejarah perkembangan kesenian di Kota Solo. Jadi tadi saya bilang mau takpatenkan, biar enggak ada yang meng-klaim, ini punya saya. Saya disitu, saya mewakili seni. Seni yang bagi warga Solo sudah merakyat. Ala Sahita iya seperti itu,” tutur Tintong Sahita yang bernama asli Sri Setyo Asih ini.

Tintong menambahkan alunan mantra keselamatan dalam tembang Tolak Balak yang disampaikan dengan humor merupakan doa keselamatan untuk Sriwedari. Doa keselamatan di momen pergantian tahun. Demikian ungkap kelompok teater tari yang menjadikan make-up perempuan tua sebagai ciri khasnya tersebut.

Menanggapi aksi teatrikal bermuatan save Sriwedari ala Sahita tersebut, salah seorang pengunjung, Andiyono, 37, mengapresiasi aksi mereka. Dia mengaku harap-harap cemas dengan nasib Sriwedari. Dirinya berharap pergantian tahun dan dukungan para seniman dapat membawa titik terang untuk sengketa Sriwedari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya