SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Dok)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL- Jaringan aktivis, pegiat demokrasi dan akademisi di Gunungkidul menolak dengan tegas wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Mereka beralasan, langkah tersebut sebagai bentuk pemberangusan terhadap demokrasi yang selama ini dibangun.

Malahan, sebagai bentuk protes terhadap rencana pengesahan RUU Pilkada, kelompok tersebut akan melakukan aksi menolak pilkada di DPRD.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Kami masih melakukan koordinasi terhadap aksi itu. Kemungkinan, kalau tidak Senin [hari ini], aksi akan dilakukan Selasa,” kata aktivis Jejaring Rakyat Mandiri (Jerami) Rino Caroko, Sabtu (13/9/2014).

Rino menjelaskan, demokrasi secara langsung, dimana rakyat ikut berpartisipasi dalam pemilihan merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Prinsip dari demokrasi, menurut dia, adalah dari, oleh dan untuk rakyat.

“Jika dilaksanakan di DPRD maka rakyat tidak bisa berpartisipasi, karena suara mereka telah diwakilkan kepada mereka yang duduk di parlemen. Jadi, ini sungguh jauh dari prinsip berdemokrasi,” tegas dia.

Dia menilai, saat pilkada dilaksanakan di DPRD akan berpotensi menimbulkan berbagai masalah, selain mencederai proses berdemokrasi, dalam praktiknya politik transaksional akan semakin terlihat. Tak jarang pula, deal-deal kebijakan akan terjadi antara dewan dengan kepala daerah terpilih.

“Masalah besaran anggaran yang dikeluarkan, itu hanya sebagai dalih saja. Yang namanya pesta demokrasi sudah tentu harus mengeluarkan biaya. Toh, hal tersebut juga untuk kepentingan rakyat,” tegas dia.

Masalah lainnya, menurut Rino, apabila wacana tersebut benar-benar disahkan, maka banyak aspirasi dari masyarakat yang terbuang percuma. Terutama, basis masa pendukung partai politik yang tak memiliki kursi di dewan.

Dia mencontohkan, basis massa PPP di Gunungkidul. Dari hasil pemilihan legislatif lalu, partai tersebut mendapatkan dukungan sekitar 15.000 orang. Namun, jumlah tersebut belum bisa mengantarkan legislatornya duduk sebagai wakil rakyat, karena suara itu terdistribusi ke seluruh caleg yang ada.

“Kalau seperti ini, suara-suara mereka akan dibawa kemana? Jadi, pelaksanaan pilkada langsung adalah hal realistis yang dilakukan,” ujar dia.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Ikatan Mahasiswa Gunungkidul, Ervan Bambang Dermanto. Menurut dia, pelaksanaan pilkada langsung akan lebih demokratis ketimbang pelanksanaannya melalui perwakilan di DPRD.

“Bila dilakukan secara langsung, maka rakyat bisa berpartisipasi dan aspirasi mereka juga dapat tersalurkan,” kata dia saat dihubungi, kemarin.

Ervan menilai, pelaksanaan pilkada di dewan berpotensi menimbulkan jarak antara bupati dengan rakyat. Dia percaya,  dalam pelaksanaannya akan tertutup, sehingga warga tidak akan tahu siapa calon-calon yang maju dalam pertarungan itu.

“Saat itu dilakukan, mungkin akan banyak warga yang tidak tahu siapa bupatinya. Apalagi, hal ini pernah terjadi dulu kala,” ungkapnya.

Dukungan terhadap pelaksanaan pilkada langsung juga disuarakan Aktivis Idea, Triwahyuni Suci Wulandari. Dia menjelaskan, apabila konsep pemilihan di dewan digolkan, maka akan mengulang kesalahan di masa lalu. Pasalnya, model pemilihan semacam ini yang digunakan saat Orde Baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya