SOLOPOS.COM - KURSI RODA—Nisa Nur Fadila (kanan) ditemani ayahnya Dwi Yanto (kiri) duduk termangu melihat teman-teman seusianya bermain di depan rumahnya. Gadis tujuh tahun itu cacat akibat gempa pada 27 Mei 2006 silam.(JIBI/Harian Jogja/Dinda Leo Listy)

KURSI RODA—Nisa Nur Fadila (kanan) ditemani ayahnya Dwi Yanto (kiri) duduk termangu melihat teman-teman seusianya bermain di depan rumahnya. Gadis tujuh tahun itu cacat akibat gempa pada 27 Mei 2006 silam.(JIBI/Harian Jogja/Dinda Leo Listy)

Dari balik pintu rumahnya, Nisa Nur Fadilah, 7, hanya bisa menyaksikan teman sebayanya berkejar-kejaran di bawah guyuran hujan  Selasa (20/3) siang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Duduk di kursi roda berpengaman khusus layaknya jok mobil reli, anak bungsu pasangan Dwi Yanto, 32, dan almarhum Siyamtini itu terus meronta,  seolah ingin mencicipi kebahagiaan yang dirasakan teman-temannya.

Begitu diturunkan dari kursi roda, gadis mungil itu hanya bisa tengkurap dan berguling-guling di lantai. Semacam mengayuh, ia mencoba merangkak dengan kedua tangannya yang kaku untuk menopang kedua kakinya yang lumpuh.

“Dulunya Nisa normal seperti bayi pada umumnya. Pada usia 18 bulan, dia sudah bisa lari-lari kecil,” kenang Dwi Yanto saat ditemui di rumahnya, Dusun Banyusemurup, RT 4, Girirejo, Imogiri, Bantul.

Kelincahan itu kini tinggal kenangan setelah gempa bumi meluluhlantakkan bangunan rumah neneknya di Paten, Srihardono, Pundong, Bantul pada Sabtu, 27 Mei 2006 silam.

Pagi itu sekitar pukul 05.53 WIB, Dwi berhasil menyelamatkan diri seraya menggendong anak pertamanya Ferdian Rifka Faiz yang masih berusia tiga tahun. Istrinya yang saat itu  menggendong Nisa, tewas seketika akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Dwi mulanya mengira Nisa ikut tewas.

Setelah puing-puing yang menimpa keduanya disingkirkan, baru Dwi mendapati urat nadi Nisa masih berdenyut.
Sempat koma sepuluh hari, Nisa ternyata masih memiliki kesempatan hidup meski jaringan otaknya rusak akibat kerasnya benturan. “Sepulang opname tiga bulan, kondisinya masih memprihatinkan,” ujar Dwi.

Selain tidak bisa melihat dan mendengar, tubuh Nisa juga kaku dengan kepala dan punggung tertarik ke belakang. Dengan sisa bantuan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang kala itu masih giat menggalang dana bagi korban gempa, Dwi membawa Nisa terapi rutin di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Sayangnya, belum semua terapi dilakukan, Dwi sudah tidak punya tabungan lagi. Penghasilannya sebagai tukang servis elektro hanya cukup buat memenuhi kebutuhan sehari-hari dia dan dua anaknya.

Akibat benturan keras runtuhan bangunan, kata Dwi, bagian dalam kepala belakang Nisa berisi cairan protein yang berpotensi menyebabkan hidrosepalus. “Selama ini, yang bisa saya lakukan hanya pasrah dan berdoa,” pungkas Dwi. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya