SOLOPOS.COM - Calon penumpang mengikuti pemeriksaan tes usap antigen di Stasiun Gambir, Jakarta, Senin (3/5/2021). (Antara/Galih Pradipta)

Solopos.com, SOLO — “Yang dites itu [seharusnya] orang yang suspect [ Covid-19 ], bukan orang yang mau pergi kayak Budi Sadikin mau ngadep Presiden. Nanti lima kali [dites], standar WHO terpenuhi itu, 1/1.000 per pekan. Tapi enggak ada gunanya testingnya [jika seperti itu] secara epidemiologi,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Jumat (22/1/2021) silam.

Saat itu, Budi Gunadi mengomentari upaya 3T atau testing, tracing [pelacakan kontak erat], dan treatment dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Menurut Budi, testing Covid-19 di Indonesia selama ini salah secara epidemiologi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lebih dari setengah tahun berselang, kesalahan itu terus terjadi. Tes Covid-19 di Indonesia memang naik signifikan sejak awal Juli lalu. Meski demikian, puluhan ribu tes di antaranya tidak dilakukan terhadap orang baru alias tes pengulangan. Itu adalah salah satu faktor yang membuat tes Covid-19 tidak optimal mendeteksi kasus baru.

Selama dua pekan terakhir Agustus 2021, kasus terkonfirmasi Covid-19 harian di Indonesia turun drastis. Rata-rata kasus harian selama 25-31 Agustus 2021 sebanyak 11.662 kasus per hari. Angka ini jauh lebih rendah daripada rata-rata kasus harian pekan sebelumnya yang masih 16.527 kasus per hari.

Jika dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya, jumlah kasus harian yang terkonfirmasi selama Agustus memang cenderung menurun secara drastis, apalagi jika dibandingkan dengan dua pekan terakhir Juli 2021. Pada 21-27 Juli 2021, rata-rata jumlah kasus harian saat itu mencapai 41.411 kasus per hari. Pada awal Agustus, tepatnya 4-10 Agustus 2021, rata-rata kasus harian turun lebih dari 10.000 kasus per hari, tepatnya menjadi 31.732 kasus per hari.

Pengulangan Tes

Penurunan kasus itu juga diiringi penurunan jumlah tes selama beberapa pekan terakhir. Namun, itu bukan satu-satunya masalah. Berdasarkan data tes harian yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada selisih yang sangat besar antara jumlah spesimen dan jumlah orang yang dites.

Data Kemenkes yang dikumpulkan Kawal Covid-19 menunjukkan ada ratusan ribu tes yang dilakukan di Indonesia setiap hari. Pada rentang 16-31 Agustus 2021, jumlah tes berkisar 122.000-an hingga mendekati 250.000 spesimen per hari. Akan tetapi, jumlah orang yang dites hanya sekitar 60% dari jumlah spesimen tersebut. Artinya, sekitar 40% sisanya merupakan tes yang tidak dilakukan terhadap orang yang baru.

Dalam rentang dua pekan itu, total spesimen yang diperiksa mencapai 2.847.204. Sedangkan jumlah orang yang dites hanya 1.675.430 atau kurang dari 60%.

Lalu bagaimana dengan positivity rate atau rasio tes positif dalam rentang waktu yang sama? Rupanya rasio tes positif juga turun drastis. Pada 16 Agustus 2021, rasio tes positif masih 22,18% atau masih sangat tinggi. Namun pada 31 Agustus, rasio tes positif hanya 8,07% atau 3% di atas ambah batas World Health Organization (WHO).

Angka ini seolah memperkuat argumen pandemi Covid-19 di Indonesia benar-benar telah mereda. Kasus turun dan positivity rate juga turun.
Sayangnya, penurunan drastis rasio tes positif tersebut tidak terjadi pada jumlah kasus suspect aktif. Dalam definisi Kemenkes, suspect merupakan orang yang memiliki gejala batuk pilek, demam, atau sakit tenggorokkan, yang memiliki riwayat perjalanan ke wilayah penyebaran nCoV maupun memiliki riwayat kontak dengan penderita nCoV. Disebut suspect karena kondisi mereka belum dipastikan melalui tes.

Suspect Tak Dites

Dalam rentang waktu 16-19 Agustus 2021, masih terdapat ratusan ribu pasien suspect aktif di Indonesia. Pada 16 Agustus, jumlah suspect aktif masih lebih dari 300.000 orang. Lalu pada 31 Agustus 2021, jumlahnya menjadi 248.333 orang. Jumlahnya memang turun, tetapi penurunannya jauh tak seberapa besar dibandingkan dengan jumlah tes harian.

Espos membandingkan jumlah orang yang dites selama 16-31 Agustus 2021. Jumlah orang yang tes berkisar 74.000-an hingga 130.000 orang per hari. Sedangkan berkurangnya jumlah suspect aktif hanya mencapai antara 1.400-an hingga 12.000-an.

Artinya, ada ratusan ribu orang suspect aktif yang tidak terjangkau oleh tes Covid-19. Padahal, dalam penanganan pandemi, mereka adalah kelompok yang seharusnya diprioritaskan dalam tes. Ini karena mereka memiliki gejala dan memiliki kemungkinan terinfeksi virus corona.

Ada beberapa tujuan orang melakukan tes Covid-19. Sebagian karena memiliki gejala atau pernah berkontak erat dengan pasien Covid-19. Sebagian lagi karena hendak bepergian atau memenuhi syarat untuk screening tertentu. Sedangkan orang yang mengalami Covid-19 bisa menjadi tes beberapa kali.

Dengan kian murahnya tarif tes PCR maupun antigen, rasio tes positif berpeluang menjadi rendah lantaran banyak orang sehat yang dites. Sedangkan banyak pasien suspect yang tetap tak tersentuh oleh testing. Ini adalah salah satu kelemahan termasuk saat menghadapi lonjakan kasus Juli lalu.

“Saya ingin meng-highlight pentingnya data surveilans yang realtime. Kami mengumpulkan data dari situs publik daerah, tidak semuanya, tetapi kami menemukan daerah lebih up to date. Ada jeda antara daerah dan pusat,” kata Assistant Professor di Duke National University of Singapore, Septian Hartono, dalam konferensi pers virtual Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Penyelesaian Pandemi, Rabu (1/9/2021) siang.

Akibatnya, lonjakan kasus justru baru terlihat setelah naiknya kasus kematian. Pada awal Juni 2021, kematian sudah naik tetapi lonjakan kasus belum terlihat. “Wabah ini kan eksponensial, kalau telat beberapa pekan efeknya eksponensial. Kalau tidak real time, maka bisa sangat parah.”

Kedua, Septian menilai naiknya kematian yang lebih dulu daripada lonjakan kasus sebagai fenomena aneh. Dia menduga ini disebabkan tracing dan testing di daerah sangat lemah.

“Berarti tesnya itu masih pasif. Mereka menunggu warga, yang tidak parah tidak diperiksa. Makanya kita dorong masyarakat untuk memeriksakan diri. Biar yang muncul bukan kematian dulu,” kata dia.

Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Abetnego Tarigan, mengakui kelemahan ini. Dia mengakui kelemahan itu disebabkan beberapa hal, di antaranya kapasitas laboratorium yang sangat terbatas. “Kita bisa lihat kontribusi testing itu di kota-kota besar. Meski sekarang di Jawa Bali sudah mulai meningkat,” kata dia, Rabu.

Keluhan itu, kata dia, sedang diperbaiki pemerintah. Dia juga mengakui banyaknya tes yang tidak tepat secara epidemiologis atau belum difokuskan terhadap suspect. “Lalu ini banyak tes untuk screening [misalnya sebagai syarat bepergian], bukan untuk kepentingan epidemiologis. Ini jadi hal yang perlu didorong,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya