SOLOPOS.COM - Wiyono menunjukkan maggot yang dibudidayakan di Taman Winasis, Kompleks Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Solo, Sabtu (1/4/2023). (Solopos.com/Maymunah Nasution).

Solopos.com, SOLO – Pengelola Taman Winasis, Wiyono, mengatakan budi daya maggot menjadi penopang operasional sehari-hari Taman Winasis di Kompleks Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Solo. 

Harga maggot basah laku dijuak sekitar Rp7.000 per kilogram (kg), sementara maggot kering dihargai Rp50.000/kg untuk pakan unggas dan ikan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Budidaya itu awalnya dibangun bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gita Pertiwi sejak 2020. Taman Winasis menjadi lokasi role model pembudidayaan unggas dan ikan, yaitu ayam dan lele.

Direktur LSM Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, mengatakan maggot merupakan dekomposer yang sangat efektif dan mampu mengurangi kelebihan sampah organik.

Saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (4/1/2023), Titik mengatakan budi daya maggot di Solo yang dilakukan sejak 202o telah langsung mendapatkan hasil positif.

Maggot segar sering dimanfaatkan untuk pakan ikan dan unggas, sementara sampah organik yang dimakan maggot menjadi bekas maggot (kasgot).

Kasgot lalu dijadikan pupuk organik. Menurut Titik, pakan maggot segar menjadi alternatif pakan pabrik yang semakin mahal. Pupuk organik juga bisa dimanfaatkan para kelompok tani agar lepas dari ketergantungan pupuk subsidi.

Bersama Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Solo, Gita Pertiwi memberikan banyak modul dan pelatihan. Titik mengatakan pelatihan menyasar 20 bank sampah di Kota Solo, yang kemudian ditindaklanjuti oleh 4 bank sampah.

“Ada di Laweyan, Karangasem, Mojo, dan Joglo. Setahu saya bank sampah di Karangasem bekerja sama dengan restoran Boga Bogi dan beberapa pedagang pasar,” tambah Titik kepada saya.

Lebih lanjut, Titik menceritakan LSM Gita Pertiwi sudah mendapatkan tawaran dari Rumah Tahanan Solo (Rutan Solo). Namun, Titik belum melihat jalan tengah agar keinginan Gita Pertiwi dan Rutan Solo sejalan.

Titik mengatakan pengelolaan sampah organik dari Rutan Solo ingin dikonsep agar dikelola warga binaan. Menurut Titik, hal tersebut akan sulit karena warga binaan Rutan Solo tentunya memerlukan pengawasan khusus.

“Padahal sampah organik dari sana potensial, Ada 600 sampah makanan per harinya,” tambahnya.

Selanjutnya, Titik mengeluhkan kondisi pengelolaan sampah di Solo. Menurutnya masyarakat memang sudah memilah sampah, tapi rasanya semua sia-sia ketika pengangkutan sampah yang terpilah dilakukan secara bersamaan.

Dia juga menambahkan, pengangkutan seharusnya dijadwalkan agar sampah benar-benar terpilah.

Namun, bagi perempuan itu, tercampurnya sampah yang diangkut truk sampah menjadi potensi pagi para pemulung di TPA Putri Cempo, Mojosongo, Solo.

Titik ingin mendorong mereka agar mampu mengolah pupuk dan budi daya maggot sebagai pakan ternak dan menjadi tambahan penghasilan pemulung di Putri Cempo Solo.

Sayang, dunia ideal Titik masih terkendala banyak hal. Tantangan mengumpulkan sampah organik adalah yang dihadapi pelaku pengelola sampah organik.

Kekurangan Sampah Organik

LSM Gita Pertiwi menunjukkan ada kenaikan sampah makanan rumah tangga selama pandemi Covid-19. Pada 2021, sampah makanan rumah tangga naik menjadi 0,79 kg/KK/hari.

Sebelumnya,pada 2018, rumah tangga menyumbang sampah makanan sebesar 0,49 kg/KK/hari dengan jumlah keluarga 4-5 orang

Namun, masih ada bank sampah yang kekurangan sampah organik untuk budi daya maggot di Solo. Bank Sampah Gajah Putih di Karangasem ini contohnya. Produksinya mereka belum sebanyak di Taman Winasis yang dikelola Wiyono.

Pengelola bank sampah tersebut, Sri Basuki, mengatakan setiap harinya kesulitan mengumpulkan sampah organik.

Saat Solopos.com temui, pria yang kerap disapa Basuki itu mengatakan tidak mudah baginya mendekat ke hotel-hotel di Solo untuk meminta sampah organik mereka.

Setiap kali dia berusaha meminta sampah organik hotel-hotel di Solo, manajemen mengatakan sampah mereka sudah diambil oleh pengepul sampah di tingkat kelurahan maupun pihak pengepul sampah lain.

“Sedih saya kalau ditolak hotel-hotel, mungkin pengepulnya membayar hotel tersebut, kalau begitu `kan saya pasti kalah,” ujar Basuki dengan nada suara yang getir.



Kegelisahannya bertambah karena dia pernah melihat di TPS wilayah Colomadu, Karanganyar, banyak para pengepul membuang sampah organik yang mereka kumpulkan begitu saja.

Cara mereka membuang sampah dengan menyebarnya di TPS itu membuat Basuki sakit hati karena dia sendiri membutuhkan sampah itu.

Menurutnya, mereka cukup egois karena mencari sampah hanya untuk membuangnya, tidak mengolahnya dengan benar. Sementara, Basuki merasa yang dilakukannya dengan bank sampah Gajah Putih memiliki nilai manfaat yang lebih baik untuk lingkungan.

Pria itu juga bercerita saat kekurangan sampah makanan untuk sumber pangan maggot, biasanya mencari ke TPA Putri Cempo.

Di sana, yang dilihatnya membuatnya bersedih karena banyak pengepul sampah menjual sampah makanan diwadahi kaleng cat dan harganya dibanderol Rp15.000 per satu kaleng cat.

Namun, Basuki berhasil mendapatkan sampah makanan dari restoran Boga Bogi karena kedekatannya dengan pemilik restoran tersebut.

Meski begitu, mengumpulkan sampah dari restoran juga perlu langkah teknis yang sulit bagi Basuki. Dia mengaku, jika mendapat dua trash bag sampah dari Boga Bogi, biasanya belum dipilah.

Saat dia pilah sendiri, sampah organik yang dia terima hanya satu kantung trash bag.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya